5. Suara Hati: Aku Rindu

43 2 1
                                    

Aku tidak menyalahkan diriku sendiri karena memaksa suatu hal yang tidak musti aku lakukan seperti ini. Iya, ini memang salah, salah besar. Tapi aku tidak mau hidup dengan bergantung pada suamiku. Dia tidak melakukan tanggung jawabannya sebagai seorang suami.

Oke aku paham, aku masih diberikan tunjangan hidup nafkah fisik namun tidak dengan batin. Aku tidak peduli itu. Namun yang ku pedulikan saat ini, aku hanya ingin suamiku balik kedalam pelukanku dan hidup dengan seperti biasanya. Itu saja.

Tapi sampai kapan masalah ini akan selesai dengan baik dan kembali ke hari-hari biasanya? Aku benar-benar sudah merindukan suamiku. Rindu untuk memberikan sarapan disetiap pagi, memberikan bekal untuk dibawa ke tempat kerja dan memasak makanan yang selalu dimakan ketika pulang kerja. Ahhh! Sampai kapan ini akan harus berlangsung!? Aku sudah tidak bisa menahannya lagi.

Aku sudah selesai mandi dan memakai baju santai dengan baik. Selepas membersihkan rumah dan terbiasa tidak perlu menyiapkan bekal serta sarapan pagi, aku langsung bergegas mandi dan duduk menatap kegelapan. Aku bingung harus melakukan apa selain diam dirumah dan menyelesaikannya sendirian. Ahhh... aku benar-benar tidak kuat dengan ini semua.

Dirumah tidak ada siapapun. Hanya ada aku dan juga... kesunyian. Aku tidak tau apa yang menyebabkan masalah ini terjadi. Apa benar-benar ini mutlak karena kesalahanku yang tidak bisa aku pahami? Atau mungkin, memang ada kesalahan yang bisa dipahami oleh suamiku dan membuatnya langsung berpikir bahwa apa yang kulakukan itu sudah melewati batas?

Ah... aku ingin pulang kerumah. Tapi kalau tidak meminta izin kepada suamiku, itu sama saja aku benar-benar seperti sudah tidak tinggal dirumah ini lagi. Dan posisiku sebagai seorang istri pun... mungkin bukan lagi. Yaaa Tuhan, aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Lalu aku harus apa?! Aku ingin pulang kerumah mamah.

Tring.

Turun kebawah dan membukakan pintu. Aku bisa melihatnya dari sepatu lusuh yang dipakai dan juga celana bahan hitam menutupi kedua kaki panjangnya. Hingga sampai melihat wajahnya, mata kami bertemu dalam satu pandangan.

"Hai, kak!" dia gadis cantik yang selalu menjadi kebanggan keluarganya. Kinara Damara Bwana. Adik perempuan satu-satunya suamiku—Kenzo, datang kerumah ini. Melambaikan tangan begitu semangatnya, aku tak lupa untuk membalasnya dengan menyunggingkan senyumanku.

"Masuk, Ra!" adik iparku mengikutiku dari belakang. Menyimpan sepatunya di dekat lemari khusus menyimpan sepatu, tangannya menyentuh tanganku lalu menggandengnya. "Kak Kenzo, kerja kak?"

"Kerja. Baru dua puluh menit berangkat, kenapa?"

"Nggak papa, aku mau ngajak kakak pergi ke luar aja. Abis aku bosen banget dirumah terus. Temenin aku ke gramedia, gimana?"

"Aku nggak bisa kemana-mana hari ini. Kamu pergi aja sama temen-temen kamu, Ra."

Jujur, aku memang tidak bisa pergi tanpa meminta izin dari Kenzo. Asal pergi begitu saja, aku takut Kenzo akan semakin marah kepadaku—dengan kejadian masalalu, dimana aku asal main pergi lalu pulang-pulang dia sudah mogok bicara kepadaku. Aku tidak mau menambah masalah yang baru, dengan masalah kemarin saja belum selesai satupun.

Maka dari itu, lebih aku diam dirumah lagi, walaupun aku sendiri benar-benar sangat bosan berada dirumah terus. Tapi mau bagaimana lagi, cukup kemarin saja aku tidak mengatakan apa-apa dan asal pergi ke tempat kerjanya. Itu sudah cukup bagiku untuk pergi keluar rumah. Iya.

"Tapi kak, daripada kakak disini sendirian, lebih baik temenin aku pergi cari buku tambahan. Lagipula... kak Kenzo pasti ngeizinin kalau kakak perginya sama aku kok. Ayo kak!"

Aku tetap menggeleng. "Nggak bisa, Ra. Kakak mau dirumah aja, kakak—"

"Kenapa leher sama pundak kakak, merah begitu? Kak Juni sakit?"

HARIAN JUNIATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang