Dendam

463 52 8
                                    

Sahabat adalah orang yang membawa energi baru ke dalam jiwa sahabat nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sahabat adalah orang yang membawa energi baru ke dalam jiwa sahabat nya. Seperti yang ia rasakan kali ini. Rasanya ia tidak memiliki energi apapun setelah kepergian sahabatnya. Seperti tidak punya semangat hidup. Hari-hari isinya cuman tidur sekolah tidur. Tidak ada yang istimewa. Terkadang dia pun sering melamun sendiri, mengingat kejadian-kejadian lucu yang ia lalui bersama sosok sahabatnya yang saat ini telah pergi untuk selamanya.

Tongkrongan pun semakin hari semakin sepi. Mungkin setelah kejadian itu terjadi anak-anak banyak yang tidak diizinkan keluar malam lagi oleh orang tua mereka. Takut apa yang dialami oleh Bule terjadi pada mereka. Dia pikir itu wajar, karena orang tua tidak ingin terjadi apa-apa oleh anak mereka.

Sama seperti ibunya. Setelah kejadian malam itu, ibu nya mengalami syok karena dari dulu memang mengidam penyakit jantung. Malam itu tepat saat ulang tahun Rajatan ia tidak tersadarkan diri dan di bawa oleh Zidan ke rumah sakit, Ibu nya yang mendengar itu langsung jatuh sakit dan kemudian ikut masuk ke rumah sakit.

Dia tau tidak seharusnya dia membuatnya khawatir seperti ini. Tapi dia juga tidak tau jika sampai ada kejadian tak terduga ini. Dia kehilangan sahabatnya tanpa dikasih pertanda ataupun firasat buruk sedikitpun. Dia merasa semuanya seperti mimpi. Saat dia bangun tidur, dia terus menepuk wajahnya untuk membenarkan bahwa itu adalah mimpi buruk nya. Namun itu memang lah kenyataan yang tidak ingin ia terima. Maka untuk hari ini dia akan mengambil semua energi yang sudah dibawa pergi oleh sahabatnya. Dia ingin membalaskan dendam.

Algar berjalan ke arah Tongkosong.  Hanya ada empat orang anak yang ada disana. Hanya Ibob, Paul, Rama, dan juga Piyan.

"Kenapa cuman segini? yang lain mana?" tanya Algar menatap mereka dengan tatapan tajam.

"Pada gak ikut Gar, kayaknya pada gak dibolehin main sama ibu bapaknya," balas Ibob.

"Kalo kayak gini kita gak bakal mungkin bisa menang."

Algar terlihat sangat kesal bercampur emosi terhadap teman-teman nya. Tidak bisakah mereka meluangkan waktu untuknya sebentar saja? Padahal kemarin saat ada di rumah Bule, untuk tahlilan ia sudah bilang akan menyerang hari ini. Tapi semuanya tidak datang seakan menghindari hari ini.

Algar membaringkan badannya sejenak. Menekuk tangannya yang ia gunakan sebagai bantal kepalanya. Memejamkan matanya dan mengontrol emosinya perlahan.

"Algar!" panggil Piyan yang datang sambil membawa es nya, sepertinya pria itu baru saja membeli es di warung. Algar melirik Piyan sekilas kemudian kembali memejamkan matanya lagi.

"Gue liat anak-anak pada nongkrong di rumah Ridwan," ucapnya yang membuat Algar langsung membuka matanya.

Algar langsung bangun dari tidurnya. Saat mendengar Piyan mengatakan ulang. Ia mencengkramkan tangannya tidak terima.

"Berapa orang?" tanya Algar.

"Sekitar enam orangan deh keknya lagi pada mabar noh disana," balas Piyan.

Jadi rumah Ridwan itu memasuki sebuah lengkong kecil jadi tidak akan terlihat jika dilihat dari tongkrongan. Algar berjalan ke arah rumah Ridwan dengan rasa kesal. Emosinya meluap-luap menatap rumah Ridwan yang banyak sekali sandal di depan teras rumahnya.

"Pantesan aja sepi ternyata pada disini." Algar  masuk ke rumah Ridwan tanpa permisi. Di ambang-ambang pintu ia melihat beberapa anak yang tengah memainkan HP miringnya.

"Bangsat lo semua!"

Semua teman-temannya terkejut menatap Algar yang wajahnya sudah merah padam menatap tajam satu persatu dari mereka.

"Kalo lo semua gak mau ikut, bilang aja anjing! Jangan diem-dieman kek gini segala menghindar pindah tempat. Gue udah nungguin kalian daritadi dengan santainya kalian nongkrong disini main HP."

"Gue kan udah bilang kemarin kalo Minggu ini bakalan nyerang, Terus lo pada ngapain disini?"

"Maaf Gar, tapi gue udah berhenti, gak mau tawuran-tawuran lagi." Ridwan membuka suara.

Meratapi nasib Bule membuatnya trauma untuk tawuran lagi. Lagian mereka pikir sudah waktunya untuk berhenti melakukan tindakan kriminal itu. Jika dendam dibalas dengan kekerasan maka dendam itu tidak akan pernah ada ujungnya.

"Kita nongkrong-nongkrong santai aja lah Men, gak selamanya kita bakalan turun ke jalanan terus kan?" Niko tersenyum tulus seakan mengajak Algar supaya bisa menyetujui sarannya.

Algar memukul pintu rumah Ridwan dengan keras yang membuat Niko langsung terdiam. Semuanya tidak ada yang berani menatap Algar, mereka terus menundukkan kepala mereka.

"Terus lo semua tega liat temen lo mati di tangan Bayu? Lo pada biarin mereka berkeliaran mengejelek-jelekan nama baik Almarhum?" tanya Algar dengan sedikit sinis.

Kalo bukan sahabatnya, dia juga tidak mau memperbesar masalah ini sampai harus balas dendam. Rasanya sakit jika membiarkan orang yang sudah tega membunuh sahabatnya berkeliaran menjelek-jelekkan nama sahabatnya.

"Mana rasa solidaritas lo semua? Katanya masuk sini buat belajar arti solidaritas tapi nyatanya semuanya cuman omong kosong. Lo semua sama aja kayak musuh. Sampah!"

"Apa memang ini yang kalian inginin kan? Kalian seneng kan Bule mati? Lo seneng kan gaada yang ngatur ngatur lo? Iyakan?"

"Jawab anjing!"

Semuanya terdiam tak berani mengeluarkan suara. Algar semakin tak bisa mengendalikan emosinya. Algar melepas jaket berlambang serigala hitam yang dia pakai kemudian melemparkan ke mereka. Hoodie itu ditangkap oleh Gege. Mereka semua tampak terkejut bertanya-tanya apa maksud dari pria itu melemparkan jaketnya.

"Gue keluar!"

Algar berbalik arah ingin pergi. Gege ingin berdiri untuk mengejarnya namun tangannya ditahan oleh Niko. Algar kembali ke tongkrongan dengan telanjang dada. Pikirannya sangat kacau. Dia kecewa dengan teman-temannya, dia kecewa dengan dirinya sendiri yang seenaknya bilang kalo dia keluar.

Dia hanya terbawa emosi saja tidak bermaksud untuk keluar dari tongkrongan. Bagaimana perasaan Bule nanti kalau tau dirinya keluar. Sedangkan Bule sangat tidak suka dengan perpecah belahan.

"Arkhhhh!"

Algar mengacak rambutnya frustasi. Kelima temannya mendekati Algar untuk bertanya ada apa di rumah Ridwan sampai-sampai membuat Algar seperti ini.

"Gue harus apa..." lirih Algar menjambak rambutnya dengan perasaan yang kacau.

Ia tidak akan mengotori tangannya hanya untuk membalaskan rasa sakit nya, tetapi rasa sakit yang menjadi dendam ini akan terus abadi sebelum ia menyaksikan kehancuran yang lebih kejam yang terjadi pada orang itu.

Walaupun tongkrongan akan bubar, setidaknya dia harus bisa membalaskan dendam untuk sahabatnya. Ini bukan sekedar solidaritas tapi orang lain yang sudah di anggap saudara. Dia tidak bermain-main tentang dendam, akan ia balas semua itu dengan tangannya sendiri.

"Lo kali ini berhasil mancing gue Bay! Mulai hari ini, bukan lo yang ngejar gue, tapi lo yang gue kejar." Algar tersenyum miring setelah mengatakan itu.

Bersambung...

Kasih komentar dong buat readers baru, gimanaa perasaannya baca sampek sinii???

Kalian dapet cerita ini darimana??

Yang penasaran bisa follow tiktok ku
@calonfiksii

Atas Nama Solidaritas (END✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang