Rindu Sahabat

1.1K 74 59
                                    

Seorang remaja kelas 12 tengah memainkan pulpennya dalam menjawab soal yang ada di lembar jawabnya. Menatap angka-angka yang harus ia hitung. Dulu, kalo dia melihat angka sedikit saja di bukunya, dia bisa sakit mata. Dia alergi sama bau hitung-hitungan seperti ini. Namun sekarang, dia menganggap angka itu bagai musuh yang harus dimusnahkan. Dia harus menyapu bersih angka itu, menyelesaikannya dengan cepat.

"Syuuut Bos!"

Suara bisik-bisik terdengar dari arah belakang yang membuatnya harus menoleh menatap teman berbadan tinggi yang sedang mengodenya dengan jari yang menunjukkan angka tiga yang artinya dia meminta contekan nomer tiga.

"Algar, hadap depan!"

Ketika hendak memberi tahu jawabannya ke Ridho, sang guru ternyata lebih cepat menyadari bahwa dirinya sedang menoleh ke belakang. Algar langsung menghadap ke depan tanpa memperdulikan Ridho yang terus berbisik-bisik minta jawaban.

Mulai minggu ini hasil ulangannya begitu memuaskan. Tidak ada yang remidi.
Sekarang dia dipuji bukan ahli dalam jagonya tawuran. Tapi dari cara mengejar pelajaran yang sudah tertinggal akibat sering tidak mengerjakan.

Dulu dia didekati banyak teman karena ingin numpang nama kepadanya. Namun Sekarang dia didekati teman karena untuk menyontek atau sekedar bertanya.

Bukan hidup namanya jika tidak berputar. Ada waktunya mereka di bawah. Dan ada waktunya mereka di atas. Tuhan maha adil, diatas kemampuan Algar yang hanya dianggap sebagai manusia miskin tak berguna tapi Tuhan memberikan sebuah fikiran yang sangat luar biasa.

Kenakalan masa muda semuanya sudah terlewati. Saat nya kembali pada diri sendiri untuk mengejar cita-cita. Teringat waktu SD dia sangat ingin menjadi seorang tentara. Walaupun abang-abang di kampungnya dulu sering menggujuk-ngujuki Algar agar menjadi maling saja.

Algar tersenyum ringan mengingat masa kelamnya yang penuh dengan kelucuan dan kekonyolan.

Flashback ON

"Emang cita - cita kamu mau jadi apa Gar?"

"Tentara dong Bang, bisa punya duit banyak."

"Daripada jadi tentara, mending jadi maling aja! Dapet duit berlimpah, gak usah capek-capek kerja."

"Kan jahat Bang, gak mau ah ntar Algar ditangkep polisi gimana?"

"Ya lu bawa pistol lah main tembak-tembakan tuh sampe mati."

"Enggak ah, Algar kalo besar mau jadi kaya bang Ferdi aja."

"Lah kenapa gua?"

"Keren kalo berantem. Nanti bisa belain Rajatan kalo ada musuh. "

Flashback off

Algar duduk di bangku dekat lapangan menonton pertandingan adik kelasnya yang sedang bermain sepak bola. Kali ini dia sendiri tidak ditemani siapa-siapa. Dia menatap sekumpulan adik kelasnya tengah bergerombol asik sambil bercanda tawa membuatnya teringat kepada teman-temannya.

Bola terhenti tepat di depan Algar. Adik kelasnya yang tadinya menendang bola langsung menyuruh Algar agar melempar bolanya.

"Woi lempar sini!" Tanpa kata 'tolong' adik kelasnya terus memaksa agar Algar melempar bola itu.

"Bangsat! Budeg lo?" teriak adik kelasnya kemudian berjalan ke arah Algar. Adik kelasnya itu menarik kerah seragam Algar yang mau tak mau membuat Algar berdiri.

"Songong banget lo. Kelas berapa lo cupu?" tanya adik kelasnya itu dengan gaya menantang.

Algar tetap diam tak merespon apa-apa. Dia langsung mencopot kacamata belajarnya kemudian mengacak rambutnya yang sudah terbalut sangat rapi. Anak itu langsung meneguk ludahnya saat menyadari siapa orang yang ada di depannya. Ekor matanya melirik bed yang tertulis nama yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Anak itu langsung kicep dan segera melepaskan tangannya dari seragam Algar.

Atas Nama Solidaritas (END✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang