Vote dulu yuk sebelum baca
.
.Jennie menatap malam dengan air mata yang berlinang. Sesak di dadanya meronta-ronta untuk dibebaskan. Jika berkedip dipastikan air matanya akan jatuh.
Pandangannya beralih pada map di tangannya yang hampir terlihat kusut. Lelah, raga dan jiwanya sudah sangat lelah mengemis pekerjaan pada setiap lowongan yang terbuka.
Dan satu pun tidak menerimanya karna ia hanyalah seorang gadis dengan tamatan sekolah menengah yang sangat biasa. Dirinya tak memenuhi syarat kata mereka.
Adiknya, Lisa, sebentar lagi akan memasuki tahun pertamanya di sekolah menengah. Jennie sudah terlanjur mendaftarkan adiknya itu di sekolah yang cukup ternama dan diterima karna memiliki nilai yang tinggi serta mendapat potongan uang sekolah beberapa persen di tahun pertamanya dan bisa saja setiap tahunnya jika nilainya baik.
Tentu saja awalnya ia sangat percaya diri mampu menyekolahkan adiknya itu dengan gaji yang lumayan karna ia telah bekerja ditempatnya dulu selama 3 tahun. Sayangnya, baru-baru ini ia dipecat karna ownernya telah berganti. Alasannya lagi-lagi karna pendidikannya padahal selama ini pendidikannya tak mempengaruhi kinerjanya yang bagus.
Kenapa dunia harus sekejam ini padanya?
Jennie tidak bisa menyerah, ia sudah bertekad agar adiknya itu tak seperti dirinya. Ia usap air matanya yang sedikit lagi hampir terjatuh.
"Kau tak boleh lemah Jennie. Kau harus tetap kuat demi dirimu dan Lisa." Mantra yang selalu ia rapalkan belakangan ini untuk menguatkan dirinya.
Langkah kakinya kembali menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Dinginnya malam membuat ia justru semakin ingin menangis. Meratapi dirinya sendiri yang malang diantara orang-orang yang berjalan disini.
"Oh! Asataga! Kau tidak apa-apa?" Jennie mengerjap beberapa kali, tak sadar kini ia tengah terduduk dengan siku yang menahan tubuhnya. Map yang ia pegang tadi telah berhamburan.
"Mianhae, saya tidak sengaja menabrakmu karna terburu-buru tadi." Wanita itu mendekat, membantu Jennie yang sudah mulai kembali kesadarannya.
"Ahh tidak-tidak, harusnya saya yang meminta maaf karna berjalan menunduk tadi." Jennie buru-buru membungkukkan badannya. Menggumamkan kata maaf berulang kali.
"Sudah, tidak apa-apa." Wanita di depannya itu tersenyun ramah. Lalu mengambil ponselnya yang terjatuh di dekat kaki Jennie.
Jennie mengerjap, Jennie tau ponsel itu ponsel mahal yang sekarang terlihat retak di ujungnya.
"Maafkan saya Nona, sungguh saya tidak sengaja." Suara Jennie sedikit bergetar, takut jika wanita dihadapannya itu menuntut ganti rugi.
Ayolah, Jennie bukan orang yang berduit sedangkan wanita di depannya ini sangat elegan, Jennie bisa menebak pakaian yang dikenakannya jugalah sangat mahal. Bisa sajakan wanita itu memanfaatkan keadaan? Pikiran buruk memenuhi ruang kepala Jennie sekarang.
"Hei, tidak apa-apa. Saya tidak akan memintamu untuk ganti rugi, ini sepenuhnya bukan salahmu. Tenang lah."
Jennie bernafas lega, sepertinya wanita dihdapannya ini bersungguh-sungguh dalam ucapannya.
"Terima kasih banyak, Nona." Jennie sekali lagi membungkukkan badannya. "Kalau begitu boleh saya minta berkas saya kembali?" Tanya Jennie tanpa menatap wanita dihadapannya itu.
Entah hanya perasaanya atau tidak, Jennie merasa tatapan wanita itu sangat mengintimidasi dirinya, padahal sedari tadi wanita itu terus tersenyum padanya.
"Oh, ini." Jennie menerimanya dan sekali lagi membungkukkan dirinya. Lalu berujar permisi, belum selangkah ia maju wanita itu menghentikan langkahnya.
"Kau sudah menemukannya?" Jennie dibuat bingung dengan pertanyaan wanita itu secara tiba-tiba.
"Maaf bila lancang, tapi tadi saya sempat melihatnya. Itu berkas melamar pekerjaan bukan? Kau sudah mendapatkannya? Pekerjaan."
Jennie menggeleng singkat, tersenyum kecil. "Belum," jawabnya singkat, tenggorkannya terasa sakit menahan tangis yang tiba-tiba datang.
Wanita itu mengangguk ditempatya, "Sebentar," Lalu ia merogoh tas yang terlampir di pundaknya.
"Ini, datanglah besok atau kapanpun jika kau mau. Katakan saja nanti kau telah memiliki janji denganku. Yasudah sampai bertemu lagi."
Wanita itu melambaikan tangannya, sebelum benar-benar pergi dari hadapan Jennie yang masih mematung.
Kim Jisoo, sebuah nama yang tercetak tebal dengan font mahal berada digenggamannya.
Jennie hampir saja terjatuh kalau ia benar-benar tak langsung menguasai dirinya. Bermimpikah ia? Melihat kembali kartu nama yang diberikan oleh wanita itu membuat Jennie mencubit pipinya sendiri.
"Ah! Sakit!" Jennie meringis sendiri jadinya. Ia benar-benar sedang tak bermimpi artinya. Kartu nama dengan dibawahnya banyak logo yang Jennie ketahui sangat bergengsi membuat Jennie tak dapat menyembunyikan raut bahagianya.
.
."Duduklah, aku menyuruhmu datang kesini bukan sebagai pajangan didekat pintu." Tutur Jisoo saat itu tanpa menoleh sedikitpun, membuat Jennie merutuki dirinya sendiri.
Jennie dengan segala kegugupan yang menyerang, akhirnya berhasil duduk berhadapan dengan Kim Jisoo dan sekat meja kerja sebagai pemisah keduanya.
Gadis muda nan rupawan namun memiliki tatapan serta aura yang dingin, sangat jauh berbeda saat pertama kali Jennie bertemu dengannya.
Setelah duduk atasannya itu justru mengabaikannya dan terlihat sibuk dengan kertas-kertas yang lumayan banyak di meja kerjanya.
"Jadi, apa kau betah kerja disini, Jennie Kim?" Jennie tersentak sesaat, dan buru-buru menganggukkan kepalanya.
Lagi, Jennie merutuki dirinya sendiri, atasannya bahkan sama tidak menoleh padanya meskipun bertanya. Mengapa ia mengagguk untuk menjawabnya.
"Ne Nona, saya sangat puas dan bersyukur dapat berkerja disini."
Jisoo hanya mengangguk mendengar jawaban Jennie. Sedangkan Jennie ditempatnya kembali dengan pikiran buruknya.
Cukup lama ruangan itu hening, sampai akhirnya Jisoo mengesampingkan semua berkas yang sedari tadi menyita perhatiannya dan beralih menatap Jennie.
"Kau tidak bertanya kenapa kau dipanggil olehku?"
"Ah, n-ne?" Jennie menjerit dalam hati, kenapa dirinya tiba-tiba menjadi lemot seperti ini.
"Kau sakit?"
Jennie menggeleng dengan cepat, mungkin wajahnya pucat sekarang karna terlalu gugup. Yang lagi-lagi hanya mengundang anggukan dari Jisoo tanpa komentar apapun.
"Jadi, kenapa Nona memanggilku kemari?"
"Ahh akhirnya kau bertanya. Aku sudah menunggu pertanyaan itu sedari tadi." Jennie buru-buru menundukkan pandangannya saat atasannya itu keluar dari kursinya.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Time
Fiksi PenggemarMereka bertemu karna takdir. Friendship | Family Seperti biasa, Ngga usah baca kalau ngga mau ngevote, ok? Ok. Ngga deng, becanda.