7. Jisoo

1.4K 213 7
                                    

Vote dulu yuk sebelum baca
.
.

Menjadi anak sulung di keluarga terhormat membuat Jisoo mati-matian belajar keras agar keluarganya tak malu.

Sejak ia mengecap bangku sekolah pertama kali, Jisoo sudah menunjukkan kecerdasannya. Karna sejak berumur 5 tahun pun orang tuanya sudah memanggil pengajar terbaik untuk mengajarinya hal-hal dasar seperti berhitung atapun membaca bahkan dalam bersikap.

Dan diusianya yang menginjak umur 7 tahun, orang tuanya dikarunia kembali seorang anak. Jisoo teramat senang.

Adik, Jisoo mempunyai adik. Artinya ia memiliki teman di rumahnya yang kelewat besar. Artinya Jisoo tidak terlalu kesepian nantinya.

Jisoo memang tak kesepian, karna adiknya sangat menggemaskan untuknya, suka menempel padanya jika ia sudah berada di rumah. Bahkan adiknya itu tak pernah membantah perkataannya.

Sampai akhirnya ia sadar.

"Ma, kenapa Chaeyoung tidak ikut dengan kita menghadiri pesta di luar?" Jisoo yang berumur 10 tahun dengan dress putih melekat ditubuhnya bertanya di samping ibunya.

"Dia masih terlalu kecil sayang, tidak baik untuknya datang keacara seperti itu."

"Ma, Chaeyoung demam. Dia memanggil mama dan papa terus-terusan dalam tidurnya." Saat itu umur Jisoo 11 tahun dengan wajah khawatirnya ia memasuki ruang kerja ibunya.

"Mama sibuk sayang, sudah suruh Bibi Seo untuk menelpon dokter?" Jisoo menggeleng kecil.

"Suruhlah Bi Seo untuk segera menelpon dokter keluarga kita, Mama harus segera berangkat Papamu sudah menunggu. Dan kau segeralah sarapan, jangan sampai melewatkan sekolahmu. Okay honey?" Sebuah ciuman mendarat dikening serta pipinya, tentu saja dari ibunya sebelum benar-benar pergi dari ruangannya.

Jisoo mematung, bahkan ini masih terlalu pagi untuk pergi bekerja menurut Jisoo.

"Ma, kepala dan perut Jisoo sangat sakit."

"Yeobo, siapkan supir kita harus segera ke rumah sakit Uri Jisoo sedang kesakitan. Cepatlah." Malam itu juga dengan hujan yang cukup deras mereka pergi meninggalkan Chaeyoung kecil tanpa menoleh sedikitpun kepadanya yang mematung di ruang tamu.

Saat itu Jisoo memang masih akan beranjak remaja. Namun ia tau ada hal sangat membedakan ia dengan adiknya dari sikap orang tuanya. Jisoo dapat merasakan besarnya kasih sayang yang dilimpahkan padanya serta adiknya itu sangat berbeda.

"Chaeyoung-ah jangan menangis ya, mungkin Mama sedang banyak pekerjaan jadi tidak bisa menemani adik Jisoo yang manis ini untuk tidur bersama. Jadi ijinkan unnie yang menemanimu tidur ya?" Jisoo yang sudah berumur 12 memeluk adiknya erat. Menggantikan kasih sayang orang tuanya yang jarang ia peroleh.

"Adik Unnie sebentar lagi akan memasuki sekolah. Uri Chaeyoungi sudah besar." Jisoo tersenyum lebar, membawa adiknya itu dalam pelukan hangatnya.

Cuaca siang itu sedang terik, Jisoo duduk sendiri di teras rumahnya yang luas. Ia sedang tidak bersama Chaeyoung karna adiknya itu kini sedang tidur siang.

Jisoo mengernyitkan alisnya, mendapati mobil orang tuanya yang kini mulai memasuki pekarangan rumah mereka. Tidak biasanya orang tuanya berada di rumah saat siang hari.

Setelah sampai di hadapan Jisoo, baik Mama atau Papanya tersenyum hangat pada anak sulungnya itu.

"Jisoo-ya, kau akan bersekolah di luar. Kami sudah mendaftarkanmu di sekolah terbaik." Jisoo mematung ditempatnya. Dia sama sekali tidak senang, justru khawatir. Siapa yang mengawasi adiknya itu nanti?

"Bukankah disini juga ada sekolah yang sangat bagus?"

"Sekolah di sini memang bagus tapi di sekolahmu ini nanti jauh lebih bagus. Kau senang hm?"

.
.

Jisoo memeluk adiknya itu sangat erat, mendapati Chaeyoung yang menangis terisak membuat Jisoo sangat merasa bersalah.

Adiknya itu sudah tau perihal Jisoo tak bisa bermain bersama lagi dan akan segera meninggalkannya.

"Unnie berjanji akan selalu berkunjung jika hari libur telah tiba."

"Unnie akan membawa coklat dan permen sangat banyak nanti." Dengan bujukan murahannya tangis adiknya itu mereda membuat Jisoo bernafas lega.
.
.

Jisoo sepenuhnya tidak berbohong. Ditahun pertamanya ia pulang 2-3 kali. Ditahun keduanya ia hanya bisa mengunjungi tanah kelahirannya itu sekali.

Lalu di tahun berikutnya ia tidak pernah pulang sama sekali. Seolah melupakan janjinya, padahal adiknya itu terus percaya pada janji Jisoo.

Tentu saja itu bukan keinginannya. Jisoo hanya mencoba menjadi anak yang penurut untuk orang tuanya.

Mengikuti semua skenario yang telah disiapkan orang tuanya dan ia hanya tinggal menjalaninya dengan baik.

Sampai akhirnya ia kembali, ke tanah kelahirannya. Bertemu adiknya kembali.

Adiknya itu masih manis seperti terakhir kali ia meninggalkaninnya di usia yang terlampau muda. Namun Jisoo tau, adiknya telah membangun dinding pembatas dengan dirinya.

.
.

Jisoo menatap kendaraan yang berlalu lalang dari tempat ia berdiri sekarang. Di belakangnya terdapat karyawannya terbaik yang sejauh ini pernah ia angkat.

Jisoo memutusukan untuk kembali ketempat duduknya, mengahadap karyawannya yang bernama Kim Jennie itu.

"Aku memanggilmu karna aku penasaran. Apa kau tahan mendengar beberapa karyawan yang menggunjingmu karna menjadi asisten Irene?"

Irene adalah chef utama di restaurant Jisoo yang juga merupakan sahabatnya. Bukan tanpa alasan Jisoo memutuskan menaikkan jabatan Jennie yang awalnya hanya sebagai pelayan.

"Tidak apa-apa, Nona. Saya tidak terlalu memikirkan perkataan mereka, di sini saya hanya perlu melakukan yang terbaik yang saya bisa."

Jisoo menganggukkan-anggukkan kepalanya, mengerti dengan maksud Jennie barusan.

"Bagaimana dengan adikmu? Dia tumbuh sehat?" Tentu saja Jisoo tau seluk beluk kehidupan Jennie. Jennie banyak bercerita sebelum Jisoo memberinya pekerjaan.

"Berkat bantuan Nona dia tumbuh dengan baik."

Jennie tersenyum lebar, ia tidak berbohong. Jisoo sudah ia anggap sebagai malaikatnya karna telah menolong hidupnya yang hampir kacau.

"Tidak, itu semua hasil kerja kerasmu." Jisoo menyahut dengan senyum yang tak kalah lebar. Jisoo tau menjaga seorang adik tidaklah mudah.

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu dan adikmu untuk makan bersama." Jisoo melanjutkan perkataannya dengan tenang yang justru disambut dengan tatapan terkejut oleh Jennie.

"Aku tidak salah dengar, Nona? Mengajakku dan adikku makan bersama?"

Jisoo terkekeh ditempatnya, mata Jennie yang mendadak bulat serta keterkejutan di wajahnya sangatlah lucu.

"Untuk apa aku berbohong? Memangnya untuk apa lagi aku repot-repot memanggilmu kesini? Itu sangat tidak sopan jika aku menyuruh orang lain."

"Aku pikir Nona akan memecatku. Karna biasanya itulah yang terjadi jika ada karyawan yang sampai masuk sini."

Jisoo tak dapat menahan tawanya, Jennie terlihat sangat polos mengatakan itu. Meski yang diucapkan oleh Jennie benar adanya.

Jisoo menjadi tidak sabar, ia melakukan ini bukan tanpa alasan. Mendengar cerita Jennie yang memiliki adik yang sangat ia sayangi dan Jisoo juga memiliki adik yang sayangnya tak memiliki teman membuat Jisoo berpikir kalau adiknya itu bisa kembali mendapatkan seorang teman.

.
.

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang