12. Lalisa, Lalice dan Lili

1.3K 183 1
                                    

Vote dulu sebelum baca 😉
.
.

Kehidupan yang pait sudah ia kecap sejak kecil. Pembullian bukanlah sesuatu yang baru untuknya.

Sejak sekolah dasar ia telah merasakannya, lebih tepatnya saat orang tuanya meninggal.

Gadis kecil itu sama sekali tak pernah menyangka, bahwa bocah-bocah seumurannya kala itu memiliki kata-kata yang pedas. Temannya dulu bahkan kini ikut beralih mengatainya.

"Kau menjadi bodoh pasti karna tak memiliki orang tua yang mengajarimu lagi ya? Haha kasian sekali!" 

Saat itu Lisa hanya bisa terdiam, keadaannya saat itu benar-benar terpuruk, ia sangat mengerti bagaimana arti ditinggal pergi untuk selamanya.

Gadis kecil itu kehilangan semangatnya dalam segala hal, termasuk belajar, tak heran jika nilai sekolahnya berantakan.

"Lihat teman dia menangis sendiri, dia pasti sudah gila." Tangis gadis kecil itu semakin keras di bawah pohon teduh taman sekolahnya.

Lisa sebenarnya sudah sangat tak ingin pergi ke sekolah saat itu, memang tak semua teman-temannya merundungnya.

Karna yang Lisa ingat, saat itu ada seorang perempuan yang merentangkan tangannya di depan para perundungnya.

"Ya! Kenapa kalian jahat sekali, seharusnya kalian menghiburnya!" Suara itu begitu lantang, membuat Lisa mendongakkan kepalanya.

"Kau tidak perlu ikut campur! Lagi pula kau bukan teman sekelasnya!"

"Pergi atau aku akan melaporkan kalian karna telah membuat teman sendiri menangis!"

Mereka pergi takut dengan ancaman tersebut, sehingga menyisakan dua anak manusia itu di dalam keheningan.

"Terima kasih." Gadis kecil itu hanya mengangguk, lalu ikut jongkok mensejajarkan dirinya denga Lisa.

"Jangan menangis lagi ya." Suara lembut milik gadis di depannya itu membuat Lisa mengangguk otomatis.

"Aku Rosie dari kelas 5C."

"Aku Lili dari kelas 5A."

.
.

"Lisa, apa kau setuju pindah sekolah?"

"Kenapa Bi?"

Sejak ditinggalkan kedua orang tuanya, Jennie dan Lisa memang dirawat oleh adik satu-satunya dari ibunya yang selama ini tinggal di luar kota mencari peruntungan.

Mendengar kakaknya yang telah tiada serta meninggalkan dua gadis kecil, membuatnya merasa memiliki tanggung jawab untuk merawat anak-anak kakaknya tersebut.

Bagaimanapun kedua gadis itu mengalarih dara yang sama dengan dirinya.

Terlihat jelas raut wajah wanita yang usianya belum memasuki usia 30 itu terpancar rasa bersalah dan menyesal, begitu juga dengan Jennie yang hanya menunduk.

"Biaya sekolahmu dan Jennie cukup mahal, sedangkan pekerjaan Bibi tak memiliki gaji yang cukup banyak, Bibi khawatir tidak sanggup menyekolahkan kalian kejenjang yang lebih tinggi nanti."

Sebenarnya perempuan dewasa itu cukup sulit mengatakannya, namun ia tak memiliki pilihan lain.

"Kapan aku bisa mulai pindah?"

.
.

Seiring berjalannya waktu, Lisa memiliki pemikiran berbeda dari yang anak-anak seusianya.

Gadis itu tumbuh menjadi remaja yang pintar, ia tak lagi membiarkan seseorang mengatainya anak yang bodoh, meski orang-orang kini justru mengejeknya sebagai gadis miskin yang memiliki nasib malang.

Menginjak masa sekolah menengah pertamanya, ia berharap dapat menjumpai teman sekolah dasarnya itu.

Meski ia tau cukup mustahil, Lisa tahu gadis yang bernama Rosie itu terlahir dari keluarga berkecukupan, tidak mungkin akan bersekolah ditempatnya yang sangat biasa.

Sejak pindah ia tak pernah lagi bertemu dengan gadis penyelamatnya itu.

"Rosie.. ayo bertemu lagi,"

.
.

Lisa dan Jennie kembali terpuruk. Topangan hidup mereka ikut menyusul kedua orang tuanya.

Bibinya meninggal saat ia masih menginjak kaki di kelas 9.

Awalnya memang begitu berat bagi keduanya di usia mereka yang terbilang muda, tapi keduanya tak memiliki waktu lagi untuk meratapinya jika masih ingin merubah nasib keduanya.

Keduanya memilih bangkit, saling bersangga satu sama lain.

Menyisakan sosok Jennie dan Lisa yang mulai beranjak dewasa.

Meski sulit Jennie tak pernah mengenal kata lelah. Dihidupnya kini hanya menyisakan Lisa untuk ia bahagiakan.

Tak ada lagi yang ia inginkan kecuali kebahagian adik semata wayangnya itu.

Adik kecilnya yang manis itu tak pernah mengeluh bahkan meminta sesuatu sejak masih hidup bertiga hingga usianya telah memasuki fase dewasa.

"Sedang apa Unnie?" Lisa memeluk dari belakang tubuh yang lebih kecil darinya itu.

"Tidak ada, kau terlihat sangat memggemaskan saat kecil, tidak seperti sekarang."

Mata Lisa ikut beralih pada foto yang tengah digenggam oleh Jennie.

Foto dirinya dan Jennie kecil yang tengah tertawa lebar.

"Hm, karna sekarang jatuhnya aku lebih cantik." Balas Lisa dengan senyum kecilnya.

Jennie hanya mengangguk sebagai jawabannya, ia senang adiknya memiliki kepercayaan diri yang tinggi meskipun yang disebutkan oleh adiknya itu adalah fakta.

"Kau bahagiakan Lisa-ya?"

Lisa mengeratkan pelukannya, menghirup aroma tubuh kakaknya tersebut dengan mata yang terpejam.

Hal yang selalu membuatnya merasa tenang.

"Selama masih ada Unnie dihidupku, aku tak pernah merasakan yang namanya kesedihan."

Jennie merasakan hatinya menghangat, meski kehidupan yang ia rasakan sangat berat, namun saat melihat Lisa dengan senyumnya yang meneduhkan serta perkataannya yang tak kalah manis.

Beban Jennie terangkat. Ia merasa lepas.

"Aku menyayangimu."

"Aku lebih meyayangi, Unnie."

.
.

Yo wasap.

Semoga nyampe 15 part 😉

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang