16. Buku dan Kamera

2K 184 17
                                    

Bebas.

.
.

Jisoo membuka matanya yang masih terasa berat. Air matanya kembali terjatuh saat ia tak menemukan siapapun di sampingnya.

Sudah hampir dua minggu adik kesayangannya pergi. Meninggalkan Jisoo seorang diri sampai ditelan sepi.

Kehilangan Chaeyoung tanpa kata perpisahan membuatnya begitu frustasi.

Sampai akhirnya ia teringat, hari di mana Chaeyoung pergi. Adiknya pergi saat akan menemui seseorang.

Haruskah ia mengutuk sosok tersebut? Atau justru harus berterima kasih karna kehadirannya, adiknya itu kembali mengecap kebahagian yang sudah lama tak ia dapatkan?

"Apa yang harus aku lakukan Chaeyoung?"

Jisoo memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya.

Gadis itu kembali terisak, ia masih tak mampu merelakan adiknya itu. Begitu banyak penyesalan berserang di dibenaknya saat ini juga.

.
.

Lisa menatap ragu telepon rumahnya. Meski kecewa namun perasaan khawatir lebih banyak mendominasi dirinya saat ini.

Ia cukup kecewa dengan Chaeyoung melupakan janjinya sendiri.

Namun pikirannya yang lain membawanya untuk tak menyalahkan Chaeyoung begitu saja. Dalam hatinya yang lain meyakinkan jika Chaeyoung pasti memilili alasan tersendiri.

Tapi perasaan kecewa kembali hadir ketika seminggu ini ia mencoba menghubungi nomor yang tempo hari gadis pirang itu berikan padanya.

Panggilan itu selalu dimatikan sebelah pihak, bahkan ketika ia baru saja berucap, "Halo, apa benar ini dengan Chaeyoung?"

Matanya bulat itu masih memandang telepon hitamnya. Menghela nafas cukup berat, ia kembali meyakinkan dirinya.

"Chaeyoung, ini adalah kali ketigakan hari ke-lima di mana biasanya kita akan bertemu. Artinya sudah sudah hampir 3 pekan kau menghilang, lagi, tapi kali ini kau membawa janji."

"Dan jika teleponnya mati sepihak untuk kesekian kalinya, aku akan masih pergi ke taman, tapi, jika kali ini kau kembali mengingkari janjimu, aku bersumpah aku akan melupakanmu Chaeyoung. Aku akan berhenti mengkhawatirkanmu tanpa sebab lagi."

Setelah berhasil meyakinkan dirinya dengan bermonolog sendiri, akhirnya jari panjang miliknya itu menekan beberapa nomor yang sudah ia hapal mati.

Panggilannya masuk.

Jantungnya kini berdegup kencang, ia takut jika janji ia sematkan pada dirinya sendiri langsung terkabul.

Tuuut

Tuuut

Lisa mengepalkan tangannya kuat, ia cemas.

"Halo." 

Gadis berponi itu seketika mendesah lega. Buru-buru ia menetralkan suara. Kali ini ia tak akan mengulang pertanyaan yamg sama lagi.

"Chaeyoung, ini Lalisa."

Suara di sebrang sana tak lagi menyahut, membuat Lisa cukup khawatir jika telponnya terputus begitu saja.

"Chaeyung apa kau masih di sana?"

Lisa mengeluarkan suaranya lagi, ia tau panggilannya masih tersambung.

"Kau Lalisa?" Lisa terdiam, cukup yakin jika ini bukan suara milik Chaeyoung.

"Ya, saya Lalisa teman dari Chaeyoung. Emm apa benar telpon rumah milik Chaeyoung?"

Tidak mungkinkan jika Chaeyoung memberinya nomor milik orang lain? Lisa segera menggelengkan kepalanya, membuang pikiran buruknya.

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang