[ 03 ] Pedang

1.2K 185 4
                                    

Sekarang, di sinilah aku. Berdiri di atas kapal terhebat di Narnia dan melihat pertunjukkan permainan pedang Edmund dan Caspian. Beberapa awak kapal terlihat antusias dan menyemangati mereka. Aku hanya tersenyum melihatnya.

Aku juga ingin berada di sana. Memainkan pedang dengan lincah, menghindari pedang lawan, dan tersenyum puas ketika berhasil menjatuhkan pedang lawan.

Hanya saja, sudah selama setahun aku tidak memegang pedang. Sudah setahun aku tidak berlatih. Aku sudah tak yakin lagi dengan kemampuan pedangku.

Suara sorakan dari awak kapal menyadarkan aku dari lamunan. Aku pun kembali memfokuskan diriku dengan permainan pedang yang sedang berlangsung.

Aku bertepuk tangan ketika permainan pedang selesai dengan poin seri.

"Kau makin tangguh, kawan." Caspian menepuk pundah Edmund. Edmund tersenyum, "Ya, sepertinya begitu."

"Permainan pedang yang bagus." Ucapku menghampiri mereka.

"Herminia." Caspian menatapku. Aku menaikkan alis sebelahku. "Ya?"

Aku melihat Caspian menyodorkan tangannya yang memegang pedang padaku.

"Mungkin kau ingin mencobanya?"

"No, Caspian. Aku--"

"Are you serious?" Edmund menatap Caspian dan diriku secara bergantian. "She is a girl."

Well, aku merasa diremehkan. Tanganku pun langsung meraih pedang yang berada di tangan Caspian dan mengarahkan pedang itu pada Edmund. Edmund sedikit terkejut namun dengan cepat dia menyeringai dan membalas mengarahkan pedangnya padaku.

Sorakan kembali terdengar bersamaan dengan bunyi dua pedang yang saling berlawanan. Senyum merekah di wajahku, rasanya senang sekali bisa bermain pedang lagi.

Tubuhku sedikit kaku saat menghindari serangan Edmund, tapi tanganku masih lincah menganyunkan pedang. Padahal sudah setahun aku tidak melatihnya.

Pedang Edmund hampir saja terjatuh. Karena Edmund adalah seorang pro, maka pedang itu dengan cepat kembali aman digenggaman tangannya.

Aku bersyukur selama aku tinggal bersama bibiku, aku selalu membantunya mengangkat barang berat, menyapu halaman, membersihkan rumah, dan juga memijit pundak dan lehernya yang selalu pegal setelah selesai pulang kerja.

Berkat itu, tanganku jadi tidak menganggur selama setahun dan itu membuat tanganku menjadi tidak mudah pegal. Itu sangat bermanfaat ternyata, aku bisa bertahan lebih lama karena hal itu.

Suara tepuk tangan, siulan, sorakan riuh terdengar.

Permainan pedang antara aku dan Edmund selesai.

Poin seri.

Aku tertawa kecil melihat Edmund melontarkan senyum yang menampakkan deret giginya itu.

"Kembali bekerja!" Teriak kapten dari atas, tempat di mana kemudi kapal berada.

Semua awak kapal yang mengerumuni aku dan Edmund bubar dan kembali bekerja. Aku melihat Caspian datang menghampiriku. Dengan segera aku menyodorkan tanganku, mengembalikan pedangnya.

Caspian menggeleng dan membuatku bingung. "Aku rasa kau akan membutuhkannya."

"Maksudnya?"

"Untukmu."

Satu detik..

Dua detik..

Tiga detik--

"WHAT?" Aku menunjukkan pedang yang aku pegang padanya. "Untukku?"

Caspian mengangguk. Sontak aku memekik kegirangan. "Thank you!"

"Bahagia sekali dirimu." Edmund tertawa kecil melihat diriku sambil berjalan ke arah Lucy yang berada di tepi kapal. Aku menyusulnya setelah mengucapkan terimakasih yang teramat sangat pada Caspian dan menyimpan pedang itu di saku pedang yang diberikan Caspian padaku.

"Kemampuan pedangmu sangat bagus, Herminia. Dari mana kau mempelajarinya?"

Aku menatap Lucy yang berada di sebelahku. "Aku di ajar oleh Martin."

"Martin? Maksudmu Martin Seaman? Kapten muda yang terkenal itu?"

Aku mengangguk.

"Bagaimana bisa?" Tanya Edmund yang kini sedang minum.

"Dia rekan kerja ayahku."

"Rekan kerja? Ayahmu Kennard Geraldine?" Tanya Lucy.

"Ya." Jawabku yang sukses membuat Edmund tersedak. Aku reflek menepuk punggung Edmund pelan. "Kau kenapa?"

Edmund menggeleng, dia tampak terdiam sejenak dan menatapku. "Sungguh sebuah kehormatan bisa berpedang denganmu, Herminia."

"Ha? Kau ini kenapa?"

"Dia itu fans berat ayahmu, tau." Bisik Lucy yang membuatku ber ooh pelan.

Hening datang pada kami, membuat suara angin yang berdesus terdengar jelas. Burung-burung yang berterbangan di udara. Awak-awak kapal yang sibuk bekerja.

Rasanya rindu sekali.

"Hei, menurut kalian, jika kita terus berlayar menuju ujung dunia, apa kita bisa-- terjatuh dari tepinya?"

Aku menoleh ke arah Lucy. Sedikit bingung dengan pertanyaannya. Aku hendak bertanya namun terpotong oleh Edmund yang malah terlihat mendukung bahwa ujung dunia itu ada.

Aku berpikir dalam diam. Memang ada ya ujung dunia?

"Aku dengar kalian membicarakan omong kosong."

Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Eustace berjalan menghampiri kami.

"Sudah merasa baikan?" Tanya Lucy pada Eustace yang kini berada di sebelahku, menyilangkan kedua tangannya. "Ya, tapi itu bukan karenamu. Aku rasa aku punya tubuh besi."

Aku memutar bola mataku dengan malas. "Kenapa sih dia bangun?" Tanyaku pada Edmund yang tersenyum, mengangkat bahunya tidak tahu.

"Kau makhluk paling ribut yang pernah aku lihat." Ucap Reepicheep yang muncul di balik tiang kapal.

Aku menahan tawaku, sedangkan Edmund hampir menyemburkan air yang diminumnya.

Eustace kembali mengoceh tak jelas. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali melepas tawaku.

"Aku pikir kau adalah makhluk lucu atau sejenisnya." Ucap Reepicheep.

Eustace kembali mengomel sambil berjalan menatap kami. Tanpa dia sadari ada seseorang di depannya dan dia menabrak orang tersebut. Dan terjadinya perdebatan antara Caspian, Eustace, dan Reepicheep.

"Dia benar-benar bermulut besar." Ucap Reepicheep yang sukses membuatku tertawa lepas.

"Dia baru melakukan pemanasan." Edmund menatapku yang masih dengan sisa tawa. "Kenapa tidak lanjut tertawa?"

"Aa? Apanya?" Tanyaku dengan menghapus air mata yang keluar karena tertawa.

"Aku suka suara tawamu." Bersamaan dengan perkataan Edmund, terdengar suara teriakan dari salah seorang awak kapal yang berada di atas yang melihat daratan.

"Apa, Ed? Aku tak mendengarnya dengan jelas."

"Nothing."

Explore Your Heart【Edmund Pevensie】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang