Chapter 6 - Our Lies

2.8K 327 54
                                    

Author's POV

"Kami pulang!" Gadis itu mendobrak pintu masuk di depannya.

Ningning segera berlari memeluk Karina dan Giselle yang sudah menunggu mereka pulang dari tempat bermain, sementara Winter memilih untuk beristirahat dan melakukan hibernasi singkat agar energinya kembali.

"Bagaimana? Apa saja yang kalian lakukan disana," ujar Karina antusias. 

"Kami berhasil mencoba wahana T-Express! Itu benar-benar menyenangkan," ujar Ningning, ia terpaksa berbohong untuk menutupi kejadian yang sebenarnya ia lakukan bersama Winter.

"Ugh, namanya saja sudah membuatku merinding. Memang pilihan yang tepat untuk tinggal di rumah, right babe?" Giselle melempar pertanyaan ke gadis di sebelahnya. Karina menatapnya, menjawab pertanyaan gadis itu dengan senyuman simpul.

Ningning tertawa kecil, "Lalu apa saja yang unnie lakukan di rumah??" Tanyanya balik.

Dua gadis lebih tua itu bertukar pandang. Mereka berpikir keras bagaimana menjawab pertanyaan dari maknae mereka. Mustahil untuk menjawab jujur, pertanyaan ini sangat sulit untuk dijelaskan. Ningning tidak boleh tahu tentang kejadian itu, ia masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu.

Giselle membuka mulutnya, "Kami melakukan hubung—"

"Marathon film," potong Karina. Ia berbohong.

"Benarkah?"

"Eoh, benar-benar asyik," lanjut Karina mengacungkan kedua jempolnya, berusaha meyakinkan gadis muda di depannya.

"Kau yakin?" Ningning memicingkan matanya, menatap wajah dua unnienya bergantian.

"Tentu saja, mana mungkin aku berbohong." Karina menelan ludahnya.

"Hmm..." Gadis muda itu menopang dagunya. Ia kembali menatap Karina dengan tatapan mengintimidasi.

"Baguslah! Kupikir unnie melakukan hibernasi seperti yang Winter unnie lakukan sekarang," ujar Ningning sebelum pergi meninggalkan kedua kakaknya di ruang tamu.

Karina menghela napas berat, memijit pelipisnya yang menegang. Ia berhasil melewati pertanyaan jebakan itu. Entah apa yang akan terjadi jika Ningning tahu apa yang sebenarnya terjadi selama mereka berdua tidak ada.

"Kenapa kau tidak menutupinya?" Bisik Karina.

"Mwo?"

"Aku bilang kenapa kau tidak menutupinya, kau ingin dia tahu begitu saja? Pakai akal sehatmu, Aeri," bentak Karina setengah berbisik.

"Kau tidak bisa menutupi hal ini, cepat atau lambat mereka akan segera mengetahuinya," ujar Giselle.

"Lalu? Apa yang kau banggakan jika mereka tahu apa yang sudah kau perbuat terhadapku?" Karina benar-benar marah. Ia tidak mau membiarkan kejadian itu tersebar begitu saja ke semua member, ia tidak bisa membayangkan apa tanggapan member lain setelah mereka tahu hubungan yang mereka lakukan secara diam-diam.

"Kenapa kau berubah menjadi seperti ini? Bukankah kau sendiri yang memohon-mohon kepadaku untuk membuatmu mencapai puncak?" balas Giselle terkekeh.

Jawaban itu berhasil membuat Karina naik pitam. Ia mengangkat tangan kanannya ingin menampar gadis di depannya, sayangnya ia segera mengurungkan niatnya. Tatapan gadis itu penuh dengan amarah, ia tidak bisa berdebat lebih jauh lagi atau member lain akan mendengar hal yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua.

"Teruslah bersamaku dan keresahanmu tentang hal itu akan hilang secara perlahan," bisik Giselle sebelum ia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Karina.

***

Karina's POV

"Ayo makan malam!" Panggilku dari meja makan. Giselle dan Ningning keluar dari kamar dan menyiapkan diri di kursi mereka masing-masing.

"Minjeong. Dia belum bangun?" Tanyaku.

"Yup, dia masih terperangkap di dunianya sendiri," ujar Ningning.

Aneh, ia tidak pernah tidur selama ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan gadis itu belum bangun sejak tadi siang.

"Kalian makan saja dulu," ujarku.

"Selamat makan unnie."

Aku berjalan menuju kamar, membuka pintunya perlahan. Aku memfokuskan pandanganku ke gadis itu, ia masih terlelap. Kudekati gadis itu pelan-pelan.

"Minjeong-ah," bisikku. Ia belum bergerak.

Kugoyangkan tangannya perlahan, "Chagiya, kau harus makan malam."

Apa ia sakit? Wajahnya terlihat pucat sekali. Aku menempelkan punggung tanganku di pipinya, itu panas.

"Kau demam," gumamku.

Ia membuka matanya perlahan, namun tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Aku bermimpi tentang drakula," ujarnya tiba-tiba. Gadis ini belum sepenuhnya sadar. Aku mengangguk sebagai tanda aku mendengarnya.

"Ia hampir memakanku..." lanjutnya. 

"Minjeong-ah, kita harus makan ma—"

"Ia memakanmu juga?" Tanyanya lemas.

"Tidak."

"Lehermu..." Ia menyingkirkan rambutku, "Lehermu merah, itu artinya ia sudah memakanmu."

"Aku akan mengambil obat untukmu."




TBC

Be My AeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang