Chapter 8 - Ranjang yang Berantakan

4.7K 344 43
                                    

Giselle's POV

"Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" Tanya Winter. Tatapan gadis itu berubah.

Jantungku berdetak cepat, "Tentu saja boleh," ujarku dengan senyum tipis.

Gadis itu mengalihkan pandangannya, ia terlihat seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Leher Karina."

"Aku menemukan hal aneh disana."

Pernyataan itu berhasil membuatku gugup. Aku tidak menyangka ia memperhatikan Karina serinci itu. Kissmark itu tidak terlalu kentara, betapa hebatnya ia bisa menyadari hal itu.

"Benarkah? Aku tidak memperhatikannya," ujarku.

"Beberapa bagian di lehernya terlihat memerah," gumamnya lagi.

"Apa kalian melakukan sesuatu yang berbahaya selama aku dan Ningning pergi?"

Gadis itu menatapku dalam, berusaha mencari celah untuk menangkapku dari kebohongan yang kusembunyikan darinya.

"Pfft, tentu saja tidak, kami tidak melakukan hal semacam itu."

"Apa maksudmu tentang 'hal semacam itu'?" Tanyanya lagi.

"Kami tidak melakukan hal berbahaya apapun, kau tahu, kami melakukan marathon film," jelasku. Aku tidak bisa menatap matanya, itu terlalu mengintimidasi.

Winter terdiam. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan sekarang. Apakah jawabanku terdengar tidak masuk akal? Apa ia percaya atas kebohongan yang kulontarkan?

"Aku harus mencuci wajahku," tuturku, ingin pergi dari situasi ini.

"Tunggu sebentar," gadis itu menahan tanganku.

"Kalian melakukan marathon film."

Winter menarik tanganku, membuatku kembali terduduk di sofa. Ia mendekatkan mulutnya di telingaku dan membisikkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat seluruh tubuhku membeku.

"Apa ada hal lain yang kalian lakukan sampai ranjangku menjadi berantakan?"


[Flashback]

Winter's POV

Kami berhasil menyelesaikan wahana seram itu, masih ada 20 menit sebelum Manager unnie datang menjemput. Kami memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman dan menikmati cokelat panas.

"Unnie, tadi unnie menciumku,"

"Eoh."

"Itu ciuman pertamaku,"

"Eoh,"

"Apa itu ciuman pertamamu juga?"

Aku terdiam. Sudah jelas itu bukan ciuman pertamaku, hanya saja aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang dilontarkan gadis muda itu.

"Haruskah aku berkata jujur?" Pikirku.

"Itu bukan ciuman pertamaku."

"Jinjja? Berarti unnie sudah melakukan hubungan seksual?" Tanya Ningning hati-hati.

"T-tentu saja tidak. Seseorang yang sudah pernah berciuman belum tentu pernah melakukan hal terlarang seperti itu," jelasku. Wajahku memanas, malu menjelaskan topik sensitif seperti ini kepada Ningning. Gadis muda itu mengangguk paham.

"Lalu siapa yang mengambil ciuman pertamamu?"

Pertanyaan kedua dari Ningning berhasil membuatku tersedak. Untung saja aku bisa mengontrol diri, kalau tidak semua air di mulutku akan tersebar kemana-mana.

"Seseorang," jawaban yang singkat, padat, namun tidak cukup jelas bagi Ningning.

"Siapa?"

"Sudah kubilang seseorang."

"Apa aku mengenalnya?"

"Mungkin?"

"Apakah dia tampan?"

"Ia sempurna."

"Siapa namanya?"

Aku menghela napas. Mustahil melarikan diri dari pertanyaan beruntun Ningning, aku tidak akan pernah selamat. Dilemaku masih bergejolak sejak ciuman pertama terjadi, tidak ingin menyebutkan nama gadis yang menciumnya tapi aku tidak bisa menyembunyikan rahasia itu lebih lama lagi.

"Sungguh kau ingin mengetahuinya?"

Ningning mengangguk pasti. Ia siap mendengar jawabanku.

"Aku butuh kelingkingmu," ujarku dengan kelingking terjulur. Gadis muda itu mengaitkan kelingkingnya.

"Berjanjilah padaku untuk tidak memberi tahu ke siapapun apa yang sudah kita lakukan hari ini, anggaplah hal itu tidak pernah terjadi," ujar Winter. Gadis itu menatap mataku penuh arti, ia benar-benar serius tentang hal ini.

"Ia bukan seseorang yang tampan," lanjutku.

"Maksudmu ia jelek?"

"Tsk, Pabo. Bukan itu maksudku."

"Ia... cantik?"

Aku mengangguk, "Eoh."

"Apa aku boleh tahu namanya?"

"Sigh," aku mengambil napas panjang, "Uri leader. Dia yang mengambil ciuman itu."

Hening.

Ningning terdiam. Ia memandang lurus taman bermain yang tidak terlalu ramai itu, memperhatikan beberapa orang yang lewat dengan tawa dan ekspresi gembira.

"Unnie," panggil gadis muda, "Kau sudah menciumku."

"Bolehkah aku merasakannya sekali lagi?"

Kutengok Ningning heran, tertegun mendengar permintaan gadis itu. 

"Karena mungkin aku tak akan pernah merasakannya lagi," lanjutnya. Senyuman tipis terukir di bibirnya namun itu tak bertahan lama, ia terlihat muram.

Entah apa yang harus kulakukan saat itu, apa aku harus mengulang kejadian itu lagi? Pada dasarnya aku tidak bermaksud untuk mencium Ningning, aku hanya ingin mengalihkan gadis muda itu dari monster wahana.

"Baiklah," ujarku. Aku meraih tengkuknya, mengurangi jarak wajah kami.

Bibir kami kembali bertemu, sama seperti waktu di wahana. Tidak ada yang berubah, hanya terasa lebih dingin dan menusuk. Gadis itu meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku segera menarik diri, tidak ingin berlama-lama dengan posisi seperti ini. Gadis itu kembali tersenyum, senyuman penuh arti. Kupandang wajahnya, ia terlihat sedih dan bahagia di waktu yang bersamaan.

"Lebih baik kita segera pulang," ajakku.

Selama perjalanan kami tidak berbicara satu kata pun. Aneh saja bagiku, seseorang yang pulang dari taman bermain seharusnya merasa gembira dan terhibur, tapi hal itu sama sekali tidak kami rasakan.

"Unnie, kau punya selimut lagi?" Manager unnie menggeleng. Selimut di mobil ini sudah diambil gadis muda yang sudah terlelap. Aku tidak ingin membangunkannya walaupun tubuhku semakin memanas. Sepertinya aku demam.

-Skip-

"Kami pulang!" Teriak gadis itu sambil mendobrak pintu dorm.

Aku tidak bisa menahan diriku lagi, tubuhku terasa seperti air. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar, tidak peduli dengan gadis-gadis itu.

"Mwoya?"

Ranjangku.

Itu berantakan.

Padahal aku meninggalkannya dalam keadaan rapi dan bersih.

"Ikat rambut Karina?"

[Flashback End]




TBC

Be My AeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang