Icung membawa gue ke salah satu kedai mie khas Jepang yang cukup terkenal di kota. Semenjak kejadian itu, baru kali ini gue bonceng motor dia lagi, hampir sebulanan kayaknya.
Gue pesen ramen tentakel, Icung juga. Minum juga samaan. Sambil nunggu pesanan dateng gue cuma pegang ponsel mati sambil keliling mata lihat-lihat sekitar.
"Jojo," panggil Icung menarik atensi gue.
"Hmm.." sahut gue.
"Sorry." Icung lekat natap manik mata gue. Gak terbiasa diginiin, gue jadi salah tingkah sendiri. Keki.
Gue masih bergeming, Icung akhirnya membuka suara lagi.
"Gue harusnya gak bilang sama Lo. Tapi nanti gue bakal cuma jadi pengecut yang gak bisa ungkapin perasaan sendiri. Bego emang, tapi gue jadi lega." Icung senyum ke gue, entah gimana perasaan dia sekarang, sama sekali gak ketebak.
"Selama Lo jaga jarak dari gue, gue jadi mikir. Gue jadi brengsek hampir maksain perasaan gue ke Lo. Gue juga jadi pecundang buat halangin Bang Jaevin buat deketin Lo dulu."
"Hah deketin gue?"
Kaget. Icung ini salah ngomong apa gimana sih?! Sumpah ya anjir. Gue rasanya ngambang banget, gak ada perasaan pasti gitu. Entah gue seneng atau sedih.
"Bentar," kata Icung terus dia ngebuka tas sekolahnya. Ngeluarin sebuah kotak kecil warna merah hati, ada pitanya warna emas. Ini lucu banget.
"Buat Lo, dari Abang gue. Hadiah ulang tahun. Dia nitipin ke gue, tapi sengaja gue simpan."
Sial! Sial! Sial!
Icung sialan!
Ih gue pengen marah.
"Gue gak paham, Icung. Ini gimana sih? Lo ceritanya yang jelas dong."
"Permisi Mbak, Mas." Gue noleh ke pramusaji yang membawa nampan berisi pesanan. Sontak gue menggeser ponsel mati dan dompet ke samping, dan pramusaji itu menaruh pesanan kami di meja.
Setelah iklan.
"Abang gue suka sama Lo, Jo. Dari lama, cuma gak gue restuin, karena gue juga suka sama Lo. Bang Jae ngalah sama gue. Dia mulai move on dari Lo, sampai bulan kemarin Bang Jaevin dijodohin sama Kak Wenda, anak temen Mama. Bang Jaevin fine-fine aja. Kak Wenda juga yang nawarin gue les di tempat dia kerja, kebetulan juga Lo les di sana." Icung menyedot es teh leci yang masih penuh.
Pantesan, setiap gue ulang tahun Bang Jaevin gak pernah absen ngasih gue hadiah, kemarin itu mencurigakan banget, gue kira dia serius sibuk gara-gara sidang skripsi. Dia selalu jadi orang yang ngasih hadiah barang-barang lucu penghuni kamar gue soalnya.
"Sekali lagi gue minta maaf." Icung beralih menatap gue, jadi gagu gini. Gue bingung mau ngomong apa. Jujur perasaan gue kosong banget. Gak tahu harus berekspresi gimana.
"Gue gak tahu harus ngomong apa dan harus ngerasa seneng atau sedih. Gue kosong, Cung. Walaupun harusnya gue seneng, karena Bang Jaevin ternyata sempet bales perasaan gue. Tapi lihat kondisi sekarang, cinta belum prioritas gue. Bang Jaevin pasti udah move on kan. Gue cuma bisa dukung Bang Jaevin sama Kak Wenda." Kini giliran gue yang minum, tenggorokan gue rasanya kering.
"Mungkin kapan-kapan gue juga bakal confess kayak Lo, Cung. Tapi kapan itu gue gak tahu, gue juga pengecut." Gue tertawa hambar, lucu banget keadaan. Bisa-bisanya ngebuat gue jadi badut kayak gini.
Icung tersenyum sekilas, terus dia nyodorin satu mangkok ramen yang sama sekali belum gue sentuh. "Makan dulu, keburu dingin."
Sekitar lima belas menit hening, gue dan Icung sibuk dengan makanan masing-masing. Hari udah semakin malam, gue bahkan belum izin ke ayah atau mama kalau mau pulang telat. Dan ponsel gue mati, gak ada baterai.
"Cung, gue belum bilang kalau pulang telat," cicit gue.
"Ya udah pulang, ngobrolnya lanjut di jalan aja." Icung ngeluarin kunci motor, dia duluan ke kasir. Isyarat tangannya nyuruh gue ke parkiran duluan. Berarti makan kali ini dia yang bayar.
"Besok uangnya gue ganti." Gue duluan pakai helm sambil ngaca di spion, benerin poni gue yang berantakan.
"Ganti seratus juta, ya."
"Hah?"
"Bercanda gue, hahaha. Santai aja kali, Jo. Biasanya gimana," kata Icung sambil ketawa terus masang helm dan duduk di atas motor.
"Naik!"
Jalanan udah gelap, banyak lampu-lampu jalan yang buat mata gue tenang. Bintang malam ini banyak banget, seakan tahu beban gue mau pergi habis ini. Gue senyum tipis.
"Gue dimaafin belum?" tanya Icung dibalik helmnya.
"Udah."
"Besok dah jadi kayak biasa lagi ya. Gue sama Lo. Kayak dulu lagi," kata Icung sambil sedikit teriak.
"Siap bos." Gue mengangkat telapak tangan membentuk posisi siap di baris-berbaris. Icung ketawa, gue lihat dari spion.
"Mau belajar motor, Jo?" tanya Icung lagi.
Kok dia tahu sih, gue mau belajar motor?
"Kok tahu?"
"Tadi pagi gue lihat ada motor di teras rumah, siapa lagi yang pakai kalo bukan Lo. Ayah Lo kan pakai mobil terus," kata dia yang berhasil bikin perut gue terasa sedikit tergelitik. Icung pengamat juga ternyata.
"Iya bener hahahaha," sahut gue sambil ketawa.
"Emang bisa naik, Jo?" Gue otomatis menggeleng.
"Lagi belajar lewat YouTube. Besok sore mau latihan di jalan depan komplek, kan lumayan sepi tuh."
"Anjir lewat YouTube hahaha, gue ajarin aja besok. Malemnya Lo ajarin gue akuntansi," tawar Icung yang membuat gue sedikit cemberut di kalimat terakhir.
Bukan gimana-gimana ya, akuntansi tuh susah. Gue anak IPA, istilah di sana tuh asing bagi gue. Tapi oke lah, daripada gue belajar motor sendiri.
"Deal!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga [Jisung NCT & Jae Day6]
FanfictionTAMAT✓ "Icung, abang Lo ganteng." "Percuma, dia gak akan naksir sama Lo!" Cuma potongan kehidupan dari Joya yang naksir anak tetangga depan rumah yang wajahnya mirip Jae Day6 dan Jisung NCT. 201209 - 210112 ©hepatialia2020