Gue duduk di sebelah Icung, barusan gue beli obat merah sama plester luka di warung. Icung gak mau gue ajak ke rumah sakit, jadinya dia nunggu di bangku taman. Untungnya di dekat sini ada taman.
"Sakit ya pasti?" Gue masih ngeri ngelihat wajah Icung yang bonyok. Lebih ngeri lagi bayangin pertanyaan apa yang para orang tua kasih ke gue, lihat anak tetangga depan bonyok begini.
"Jangan bego, Jo." Icung masih meringis sambil sesekali megang tangan gue kalau terlalu rusuh ngasih obatnya.
Selesai ngobatin Icung, gue duduk di sebelah dia sambil beresin obat-obatan tadi lalu gue masukin ke kresek. Gue merasa berdosa tahu, bayangin kalau tadi gue gak galau, gue gak berurusan sama Jeno, gue gak aneh-aneh pergi ke mall sendirian, pasti Icung gak akan kenapa-kenapa. Ini emang salah gue.
Gue nangis lagi. Salahin diri sendiri juga percuma, bonyoknya Icung gak akan hilang. Tapi rasanya gue berdosa banget.
"Maaf.." cicit gue sambil nunduk.
Icung menggeser posisi duduknya mendekat ke gue. Dia narik kepala gue supaya bersandar ke bahu kanan dia.
Icung masih diem, dia mendengarkan tangis gue sambil benerin rambut gue yang acak-acakan, dia taruh anak rambut gue ke belakang telinga.
Setelah cukup tenang, gue bersihin ingus yang tersisa pake kerah baju.
"Jorok Lo!" canda dia, terus ketawa.
"Biarin." Gue lanjut bersihin ingus. Persetan sama penampilan gue sekarang. Rambut badai gue udah lepek banget. Persis gembel.
Gue sama Icung sama-sama diam. Hanya suara motor yang sesekali lewat di jalan yang terdengar. Sampai suara dering ponsel gue menginterupsi, buru-buru gue lihat siapa si penelepon.
"Airin?" gumam gue, Icung dengar juga. Gue lihat raut dia, tapi tetep datar. Fokus lihat ke depan, gak tahu lagi lihatin apa.
Gue angkat itu telepon. Kaget. Airin, dia nangis.
"Lo kenapa?"
"Gue putus," jawabnya dari seberang telepon.
Kapan jadiannya ini? Gue kira mereka lagi PDKT. Traktiran gue aja belum di kasih. Pantes aja gak langgeng, PJ-nya belum.
"HAH PUTUS?" Gue ngelirik Icung yang masih bodoh amat di sebelah.
Di sana Airin bercerita dia gak tahu salah dia apaan, tapi tiba-tiba Icung minta udahan.
"Tenang, Rin. Biar gue ngobrol sama Icung nanti." Gue menutup telepon.
"Apa?" Merasa paham dengan keadaan, Icung meraih kedua bahu gue sama tangannya.
"Harusnya gue yang nanya, kenapa putus?"
"Emang gak cocok dari awal." Icung menghela nafas kasar, lalu tangannya beralih ke pangkuan.
Gue gak bisa ngapa-ngapain sama hubungan mereka. Di sini posisi gue cuma orang luar. Gak berhak ngatur Icung atau Airin. Tadi bilang mau ngobrol cuma alibi aja biar Airin tenang, gue gak mau dia sedih sampai gak tidur.
"Ih Lo mah, kalau gak niat pacaran harusnya Lo gak baperin dia. Mana ada pacaran sebentar kayak gini?!"
Niat gue mau bodoh amat gagal. Gue malah ikutan emosi. Ke sini mau galau-galauan, malah ketemu Icung yang lagi ada problem percintaan pula.
Icung noleh ke gue, "Lo yang nyuruh gue sama dia alih-alih cari gebetan."
"Ya tapi gak gini juga, Pinter!"
"Gue gini supaya Lo cemburu. Tapi Lo malah.. udahlah Jo."
Tunggu, ini otak gue yang gak waras atau telinga gue yang mulai kena gangguan? Icung cemburu? Sama gue?
"Cemb--"
"Gue suka sama Lo. Gue gak tahu kapan. Tapi begitu Lo bilang suka sama Abang gue, gue ngerasa gak ikhlas. Gak adil buat gue."
Gue nangis lagi.
"Wey Cung! Lo kayaknya salah deh. Gak mungkin Lo suk--"
"Gue suka Lo. Itu faktanya."
Icung motong kalimat gue lagi.
Jujur gue udah lama bikin benteng supaya gak pernah baper sama dia. Dari SMP bahkan, disaat hormon-hormon gue mulai mengalami puber. Gue udah bikin pantangan gak bakal baper sama tetangga seumuran gue itu.
Benteng itu masih kokoh sampai sekarang. Dan ternyata punya Jivano yang roboh. Gue gak bisa mengelak, kalau Jivano itu cukup menarik juga. Tapi gue lebih tertarik ke kakaknya.
"Tapi, Jivano. Lo kan tahu gue sukanya sama siapa," kata gue lalu menarik nafas panjang.
"Icung. Gue Icung buat Lo. Jangan bikin gue jadi canggung setelah ini."
Bingung banget, sialan.
Gue jadi ikutan canggung kan. Sebentar, ganti Icung lagi panggilannya.
"Gak bisa. Gue pasti canggung. Apalagi Lo blak-blakan gini."
Icung senyum. Gue bisa lihat sudut bibir dia melengkung, tangannya ngelus kepala gue pelan. Syukurlah jantung udah mulai normal lagi.
"Udah ketemu Kak Wenda?"
"Udah."
"Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Duh, Jo. Lo itu pinter tapi kalo gini, Lo kelihatan bego."
Paham kok paham. Gue harus mundur kan ya habis ini. Soalnya Bang Jaevin udah tunangan. Kapan tunangannya gue gak tahu. Gue kan bukan siapa-siapanya dia.
"Iya gue paham! Terus kenapa Lo gak pernah ngasih tahu gue soal itu?"
"Gue gak mau Lo sedih."
Gue mukul lengan dia.
"Sakit anjir!"
"Sorry.. sorry.."
Icung diem. Jadi lebih berasa canggungnya. Mendingan gue cari pembicaraan lain.
"Kenapa bisa di mall?"
"Gue sama Airin tadi habis dari sana. Beres nganterin dia naik taksi, gue lihat Lo sama Jeno."
Ini juga canggung sialan. Apa gue harus jadi badut di saat-saat kayak gini? Tuhan, please deh. Sekali aja.
Kacau banget. Bayangan gue yang mau galau-galauan malah jadi kayak gini. Semuanya diluar kendali gue. Bingung, marah kecewa, campur aduk banget.
Gue pengen masuk ke black hole aja rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga [Jisung NCT & Jae Day6]
FanficTAMAT✓ "Icung, abang Lo ganteng." "Percuma, dia gak akan naksir sama Lo!" Cuma potongan kehidupan dari Joya yang naksir anak tetangga depan rumah yang wajahnya mirip Jae Day6 dan Jisung NCT. 201209 - 210112 ©hepatialia2020