Kebalik, orang-orang itu mengatakannya pada San dan Rafa karena tahu sebenarnya San-lah yang seorang dominan. Akan tetapi, sepertinya definisi itu baru disadari sekarang.
Eits, namun sesuatu yang mengejutkan akan merubah itu semua.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rafa bingung, kesal, marah, emosi, sedih, dan ah sudahlah. Bagaimana bisa ia lalai dalam menjaga sahabatnya sendiri dan lihat? Beginilah jadinya. Seharusnya tadi dia tak membiarkan San pulang, kalau tidak pasti tidak akan kejadian seperti ini.
Sekarang dirinya tengah duduk di samping ranjang inap San sambil menggenggam tangan San seolah itu bisa membuat sahabatnya bangun.
Melihat kondisi seseorang yang sudah membuat hati Rafa tidak bisa berpaling darinya dengan keadaan seperti ini sungguh menusuk hati lelaki tinggi itu. Tangan yang dingin serta pucat, membuat kehangatan antar keduanya sungguh kontras. Seharusnya sekarang San mengabarinya jika sudah beristirahat, sekarang ia malah tidak mengabari namun memberi kabar dengan cara ini.
"San ... please bangun." Rafa tanpa sadar menitikkan air matanya.
"Kenapa sih gue baru sadar perasaan gue sekarang? Di saat lo kayak gini? Lo berhasil buat gua sadar sama perasaan gue sendiri, sekarang semuanya harus lo tanggung jawabkan San. Bangun please. Lo rela gue berpindah hati sama daddy sugar? Enggak kan." Tiba-tiba saja jari San bergerak pelan hingga membuat Rafa terkejut.
Dengan cepat ia memanggil dokter Jaka sampai Dika serta Artha ikut masuk. Dokter Jaka memeriksa dengan tenang, kemudian tersenyum.
"San sudah sedikit membaik, tapi belum boleh pulang oke? Minimal di rumah sakit selama seminggu. Tapi kalau keadaan sudah benar-benar membaik beberapa hari ke depan, dia sudah boleh pulang. Oh ya, Rafa, Artha, Dika. Siapa yang jaga San di sini?" Mereka bertiga saling pandang kemudian Artha dan Dika menatap Rafa secara bersamaan.
"E–eh, saya aja dok. Nanti izin nggak papa." Dokter Jaka lagi-lagi tersenyum teduh lalu menepuk bahu Rafa—setelahnya dia izin pergi untuk menyiapkan obat San.
Ketika semuanya berbalik, barulah mereka sadar San sudah membuka matanya. Tatapan yang Rafa dapatkan bukan seperti tatapan yang ia inginkan. San menatapnya kosong seakan tak bernyawa. Yang dia inginkan, San menatapnya dengan senyum serta tatapan ceria seperti biasa.
Dua orang lainnya saling pandang satu sama lain dan memberi tahu Rafa jika mereka harus pulang. Rafa juga mengiyakannya kemudian segera menelpon Raja untuk membawakan beberapa pakaiannya. Dan juga, dia mengechat Ocang untuk mengizinkan dirinya.
Setelah selesai dengan urusannya, sekarang dia mengalihkan perhatiannya pada San. Lelaki itu hanya diam sambil menatap dirinya, sekarang tatapan itu berubah seperti bocah polos yang ingin tahu sesuatu. Rafa terkekeh lalu duduk di kursi samping ranjang inap San.
Dia mengambil tangan itu setelahnya digenggam erat, Rafa tidak banyak bicara, ia hanya menciumin genggamannya dan San berulang kali sehingga membuat San bingung.
"Engh, lu ngapain sih." San berbicara dengan lemas sambil tertawa pelan.
"Shut diem. San, besok anak-anak baru datang, soalnya katanya macet banget di jalanan." San mengangguk mengerti lalu membuka suara.
"Ini malahan kayak seme ngurus ukenya njir, sadar kalik lo yang kek uke," jawab Rafa tak mau kalah.
"Serah dah."
~~~
Tengah malam menjelang, tetapi rasa ngantuk belum menyerang Rafa, berulang kali dia melelahkan diri agar bisa tertidur. Namun—hasilnya nihil; ia tetap tidak bisa tidur.
Sekarang ia hanya berbaring di atas sofa sambil menatap langit-langit kamar inap San. Putih semua, seakan putih bermakna sebagai cahaya bagi mereka yang tengah berjuang. Merasa ada orang berjalan ke arahnya, Rafa menengok ke samping dan terkejut mendapati San sedang ke arahnya. Saat sudah sampai di depan Rafa—lelaki dengan rahang tegas itu berjongkok lalu tersenyum.
"Kenapa belum tidur? Mau gue temenin?" San mengulurkan tangannya mengusap pipi lembut itu.
Rafa tampak menggemaskan ketika kakinya ditekuk ke atas seperti ini, tetapi sahabatnya itu tidak bodoh jika tidur dalam keadaan seperti ini dengan lama akan membuat kaki Rafa sakit. Maka ia berinisiatif menyuruh sahabat tingginya tidur di ranjang sebelah San. Tadi sudah ditawarkan, tetapi tetap saja Rafa memilih tidur di sofa.
"E–eh." Rafa menjadi gugup saat tangan itu menyentuh kulitnya. Dan—aksi San selanjutnya membuat dia terdiam seribu bahasa.
Ya, San mencium bibir Rafa lembut. Lumatan-lumatan tanpa adanya nafsu, hanya ada cinta di sana. Dia juga mendorong lelaki yang tengah ia cumbu untuk bersender ke belakang.
Saking lembutnya Rafa terbuai dan langsung mengalungkan lengannya di leher San, matanya terpejam mencoba menerima nikmat ini. Bibir San tipis dan juga lembut—berbeda dengannya yang jauh lebih tebal.
"Mmphhh." Ciuman mereka semakin mengganas kala lidah mereka sudah bergelut satu sama lain. San tidak peduli dengan infusnya, yang di pikirannya sekarang adalah seseorang dengan tinggi menjulang, rambut yang cantik, wajah manis, dan bibir tebal.
Merasa pasokan oksigen menipis—keduanya melepas tautan bibir mereka, tidak ada perbincangan karena sibuk menghirup udara. Ketika masih menetralkan nafas, Rafa terkejut saat San menatapnya lembut kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh tengkuknya, ibu jari lelaki yang sedang sakit ini mengelus pipi Rafa lembut.
"Gue punya lu sekarang, lu punya gue sekarang. Lo udah jadi prioritas gue dan nggak bisa diganti siapapun. Rafa Artur Adelard, will you be mine, be my world, be my home, and be my wife in future?" Rafa speechless teman-teman.
Maksudnya dia lagi ditembak? Ah, apakah dirinya tengah bermimpi? San, sahabatnya sejak kecil menembaknya. Astaga—apa ini mimpi.
"Raf?" Rafa yang tengah melamun terkesiap saat suara San menginterupsi pendengarannya.
"Hem, Yes I do." San tersenyum teduh dan langsung memeluk Rafa erat.
Rasa sakit selama ini mendadak hilang ketika hari ini juga ia resmi menjadi seseorang yang lebih bagi Rafa, dia tidak percaya mereka akan sejauh ini. Namun, apa bisa perbuat, keduanya saling jatuh hati lalu bagaimana.
Rafa ikut tersenyum dan sama halnya; ia tidak percaya akan sejauh ini. Seseoranh yang sedang memeluknya sekarang sudah mendapatkan sebagian hak untuk menjaganya. Sahabat kecilnya yang tampan, keras kepala, dan moodboosternya sudah resmi menjadi kekasih dan artinya Rafa mendapatkan juga sebagian hak tentang San.