Kebalik, orang-orang itu mengatakannya pada San dan Rafa karena tahu sebenarnya San-lah yang seorang dominan. Akan tetapi, sepertinya definisi itu baru disadari sekarang.
Eits, namun sesuatu yang mengejutkan akan merubah itu semua.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
San sepulangnya dari rumah Racka, diam-diam pergi ke tempat latihan menarinya. Huft berapa lama tubuhnya tidak bergerak dengan lincah di depan kaca besar itu. Beruntung Rafa percaya saat ia mengatakan pulang duluan karena harus mengangkat jemuran. Haha alasan bodoh apa itu.
Setibanya dia di tempat latihan hal pertama yang ia temukan adalah Artha dan Dika dengan ayam goreng di depan mereka.
"Loh San? Katanya mau angkat jemuran?" ujar Dika akan sadar kehadiran teman segroupnya.
San menggaruk tengkuknya tak gatal kemudian menjelaskan semuanya, awalnya Artha hendak menelpon Rafa, namun begitu disogok dengan ayam mekdi. Beruntung Artha mau dan membiarkan temannya berlatih sesukanya.
Sejujurnya Dika khawatir karena ia tahu betul bagaimana seorang San berlatih, jelas-jelas orang mengidap leukimia tidak bisa terlalu lelah, jika iya nanti keadaannya mudah drop dan taruhannya adalah nyawa si penderita sendiri. Ya, bisa dilihat sekarang wajah San mulai memucat, gerakannya mulai linglung seperti orang mabuk.
"Njir, pusing bat nih kepala." San memegang kepalanya lalu dengan cepat meraih tasnya, dia mengambil satu pil lalu menegaknga dengan air.
Artha dan Dika? Tentu saja terkejut. Mereka tidak tahu apa yang San minum, kalaupun resep dokter harusnya ia makan dulu.
"Heh, San apa yang lo minum woy?!" seru Artha panik.
"Eungh ... obat pereda pusing." Polos, tidak serempet goblok!
"San goblok! Jangan minum obat sembarangan! Obat dari dokter mana?!" umpat Dika mencoba membongkar tas milik San.
~~~
Di sini mereka berada, menunggu hasil dokter dan akibat panik tadi mereka tidak sempat mengabari Rafa. Bayangkan saja esok jika lelaki itu tahu kabar ini.
Tak lama pintu dokter terbuka memunculkan sosok menjulang, dokter Jaka. Heem jadi yang menangani San selama ini adalah dokter Jaka.
"Dika, Artha kalian bisa ke ruangan saya." Mereka berdua mengangguk lalu mengikuti dokter Jaka ke ruangannya.
Sesampainya di ruangan serba putih serta diisi alat-alat medis, Dika dan Artha duduk berhadapan dengan dokter Jaka kemudian mulai bersiap-siap untuk menerima hasil medis teman mereka itu.
"Sejak kapan San mengomsumsi pil pereda pusing?" Artha dan Dika saling tatap kemudian menggeleng tak tahu.
"Begini, saya terpaksa mengucapkan ini dan tolong jangan panik. San masuk stadium dua dikarenakan keadaannya cukup menurun akhir-akhir ini. Ia terlalu banyak pikiran, mengonsumsi pil pereda ketika ia pusing, dan lalai dalam minum obat." Mereka berdua terkejut bukan main akan kabar ini.
Ketika dijelaskan dan diberitahu kalau San harus rawat inap mereka berdua segera menelpon Rafa dan kalian pasti tahu bagaimana reaksi Rafa nanti.
Bersambung~
Haii! Btw, chap kali ini kubuat pendek sengaja karena aku lg sibuk banget. Next chap panjang kayak biasa deh