35.1: Tetesan Darah Yang Tertinggal

2.4K 231 32
                                    

Sebenarnya masih ada lanjutannya, tapi aku baru dapat kata segini. Jadi aku pikir update aja. Biar penasaran kalian nggak terlalu parah. Selamat membaca ya!

.

.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Michelle ketika Rigel mengungkapkan kebenaran itu secara terang-terangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Michelle ketika Rigel mengungkapkan kebenaran itu secara terang-terangan. Lelaki itu bahkan tampak menikmati ekspresi terkejut yang terpatri di wajah Michelle; seakan terpukul.

Kini, Michelle mulai memahami segalanya. Perasaannya dan debaran jantungnya yang selalu berdetak kencang bila di dekat Gerardo, semua terasa masuk akal. Segala kekusutan yang ada di benaknya, bak benang merah, kini menciptakan kesimpulan yang menyakitinya.

"Satu-satunya hal yang perlu kau lakukan hanya memercayaiku, Michelle. Aku takkan menyakitimu."

"Lalu, apa menurutmu jika aku meminta seseorang yang telah tiada kembali hidup pada bintang jatuh, apa benda kecil itu akan mengabulkannya?"

"Sama seperti peristiwa di masa lalumu, Ibuku meninggal karena kebakaran."

"Musik, satu-satunya hal bisa yang mengobati Ibuku. Terutama biola, ia sangat suka memainkannya."

Suara-suara itu juga bergaung di dalam kepalanya, seolah memutar paksa kenangannya bersama Gerardo di masa lalu. Hingga tanpa sadar, deraian air mata Michelle bertambah. Dadanya terasa sangat sesak. Karena... pada akhirnya ia tahu... siapa wanita yang telah melahirkan Gerardo. Ia sangat mengenal wanita itu, dan betapa bodohnya, ia baru menyadari segalanya sekarang.

"Kau malah membunuh pria yang menyelamatkanmu, meninggalkannya dalam kematian yang menyedihkan."

Michelle terisak kecil. Ia lalu menatap Rigel yang menyeringai culas.

"Kau membantuku melenyapkan penghalang yang ada, dan membuat dirimu semakin dekat menuju kematian." Perlahan Rigel mengeluarkan pisau lipat yang ada di laci nakasnya. Ujung pisau itu mengkilap saking tajamnya.

"Apa maumu Rigel?" Seketika Michelle dilanda kepanikan ketika Rigel berjongkok dengan satu kaki dan meraih kasar salah satu tangannya.

"Apa semua kata-kataku kurang jelas untukmu?" Rigel menatap bengis Michelle. "Aku memerlukan alat pengintai itu, agar Laura bisa tenang."

Michelle tahu maksud kalimat Rigel. Tapi mulutnya bungkam—enggan mengungkap kebenaran—terkait keberadaan alat pengintai itu. Entah, benda apa yang berada di tangannya saat ini, Michelle tak peduli. Ia hanya memikirkan dampak yang bisa terjadi pada Gerardo, jika ia memberitahukan alat pengintai itu pada Rigel.

Meski ia baru membunuh Gerardo, tapi di sudut hati kecilnya Michelle berharap lelaki itu bertahan. Hanya ini... satu-satunya hal yang bisa dilakukannya untuk menembus segala kesalahannya. Ia juga... ingin melindungi Gerardo dengan caranya, sekalipun ia harus merasakan rasa sakit dari ujung pisau yang digoreskan Rigel ke kulit di celah jemarinya.

Michelle memekik nyaring, air matanya meluruh di pipinya.

"Kau pantas merasakan rasa sakit dari benda tajam ini. Itulah sebabnya aku menunggumu terbangun." Rigel tersenyum jahat saat memerhatikan darah mengalir dari tangan Michelle.

Napas Michelle tersengal-sengal. Bulir keringat memenuhi sekitar dahinya. Rigel berhenti sejenak merobek paksa kulit Michelle dengan pisau itu hanya untuk melihat Michelle yang terbaring lemas di ranjang.

"Tempat ini jauh dari keramaian. Jadi teriakanmu takkan membantu apapun."

Tangan Rigel berlumuran darah Michelle, pun dengan ujung pisau itu. Pelan Rigel menggerakkan pisau itu ke arah beberapa helai rambut Michelle yang lengket di dahi, menyelipkan ke telinga, dan itu menyebabkan tetesan darah dari di pisau itu jatuh di sekitar wajah Michelle.

"Kau sebentar lagi sepertinya akan menuju mautmu, Michelle. Ayahmu harus merasakannya seluruh penderitaan dan rasa sakitku melaluimu. Kau adalah satu-satunya pusat dunianya, Michelle. Ia akan hancur jika kau tiada. Ibumu pun bisa membenci Ayahmu jika ia tahu penyebab kematianmu yang sebenarnya."

Setelah itu Rigel kembali melanjutkan pekerjaannya pada tangan Michelle lewat pisau itu, membuat Michelle kembali memekik tersiksa. Alih-alih merasa iba, Rigel justru dengan santai bercerita, tanpa memedulikan Michelle yang terlihat memilukan. "Aku sangat dekat dengan Dario. Ia mengira aku sungguhan ingin berlibur di Italia, dan ia menawarkan tempat ini secara gratis untukku. Serta seluruh fasilitas yang ada di dalamnya."

"Kau sakit, Rigel..." umpat Michelle lesu. Darahnya kini banyak mengucur, hingga lambat laun sosok Rigel terlihat mengabur dalam pandangannya. Meski begitu, Michelle dapat menangkap kedua sudut bibir lelaki itu melengkung lebar ke atas saat lelaki itu mendongak, balas memandangnya.

"Dan ini belum seberapa dari rasa sakitku, Michelle," ucap Rigel mengerikan. []

***

Aku tahu ini pendek, tapi apa daya aku hanya bisa dapat kata segini.  Sampai jumpa di part selanjutnya ya. Post gambar tokoh bakal muncul di part berikutnya ;)

Dan selamat hari senin. Buat kamu yang kerja, sekolah, dan yang beraktivitas rutin di rumah tetap semangat ya! Jangan lupa tetap patuhi protokol kesehatan karena pandemi masih belum berakhir dan kita perlu terbiasa berdampingan hidup dengan Om Coro.

.

.

Diketik 683 kata; 11 Januari 2021

instagram: simplegirly__

End Of MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang