02: Kenyataan Yang Menampar

8.2K 475 77
                                    

Executive Suite Room – The Ritz Carlton, Los Angeles

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Executive Suite Room – The Ritz Carlton, Los Angeles

"Marcio!" pekik Laura saat Marcio menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Laura tidak lagi berbusana lengkap—hanya bra dan dalaman hitam. Ia terlentang pasrah, tertawa dengan rambut cokelat yang tergerai indah di bantal putih.

Marcio tersenyum nakal dan bergegas menanggalkan kaos hitamnya dari kepala. Merangkak mendekat, menarik satu kaki Laura dalam sekali sentak, melucuti dalaman seksi gadis itu, lalu melemparnya asal, dan berakhir memenjarakan Laura dalam kuasanya.

"Merah adalah warna yang cocok untukmu Laura. Kau terlihat seksi dan menggoda," bisik Marcio serak sembari mengusap bibir Laura sebelum menciumnya sekilas.

"Aku tidak tahu bahwa kau bisa berubah menjadi pria yang panas. Kupikir kau bukan pria seperti itu. Kau terlihat sangat pemalu ketika ingin menyapaku untuk pertama kali," ujar Laura geli, jemari lentiknya menelusuri rambut hitam Marcio yang agak ikal dan terasa kasar.

"Lebih tepatnya, aku tidak tahu bagaimana cara untuk berkenalan dengan wanita cantik yang selalu duduk sendiri di La Boucherie setiap malam. Itu sebabnya aku selalu mengirimkan bunga di mejamu. Dan ternyata, itu cukup membuahkan hasil," sanggah Marcio dengan mata berkabut, tangannya mulai bergerak ke bawah, meraba paha mulus Laura, semakin naik dan mengusap di sana, sebelum mendesakkan satu jemarinya.

Laura tersentak. Sembari mengigit bibirnya, jemari lentiknya sekarang berpindah memegang lengan kekar Marcio.

"Kau melihatku, mengijinkanku berbincang denganmu, lalu kita sering menghabiskan waktu bersama, seperti sekarang." Sebuah seringai mesum terbit di bibir Marcio.

Laura memejam nikmat, napasnya berubah putus-putus. Marcio mengeluarkan satu jarinya dan menggantikannya dengan dua jemari. Mendesak lebih dalam, bermain dengan tempo lambat dan membuai.

"Aku ingin menjadi sumber kebahagiaanmu yang utama dan tidak ingin melihatmu menjadi wanita murung, Laura," bisik Marcio parau. Dahinya jatuh ke dahi Laura. Hembusan napas mereka saling beradu satu sama lain. "Aku yakin, Ayahmu pasti ingin kau kembali menjalani hidupmu. Apalagi pembunuh sialan itu sudah lama tertangkap."

Perlahan Laura membuka matanya, ia mengerjap waktu permainan jemari Marcio tiba-tiba terhenti. Ada sedikit rasa kecewa yang timbul di hati Laura.

"Tapi aku cukup kesal dengan teman priamu itu, Laura."

"Rigel, ia bernama Rigel, Marcio. Aku sudah pernah mengatakannya padamu."

Mata Marcio menggelap akibat bara gairah. Ia menggeram saat kedua tangan Laura menyentuh rahang kokohnya, membelai jambang tipis yang tumbuh di wajahnya, berlanjut pada tato salib di otot bidangnya. Sentuhan-sentuhan halus Laura itu sukses menstimulasi seluruh syaraf di tubuh Marcio. Mempengaruhinya dengan berbahaya. Hingga dengan cepat Marcio menghentikannya. Mencekal satu tangan Laura, membawanya dalam sekali sentak ke atas ranjang dan menahannya kuat, membuat Laura terkejut sedetik.

End Of MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang