Mr. Wahlberg mengakhiri sesi kelas dengan meninggalkan tugas kelompok yang terdiri dari lima orang. Alma terlebih dahulu membentuknya tanpa konfirmasi terlebih dahulu, di mana secara sepihak dia menuliskan namaku, Jackson, Aiden, dan si Kutu Buku Gisella.
Kami berlima menggunakan waktu sekitar lima menit di jam makan siang, untuk berdiskusi sejenak mengenai kapan serta di mana kita akan memulainya. Hingga setelah melewati sedikit perdebatan kecil antara Jackson dan Gisella, keputusan akhir pun terbentuk, yakni kami akan memulainya hari ini, sepulang sekolah, di kafe Sweet Chocolate.
"Fine, sudah diputuskan dan saatnya memanjakan perut," ujar Alma sambil mengambil cermin kecil yang dia simpan di dalam saku sweater-nya. Alma tampak sedang merapikan poninya dan di waktu bersamaan, dia berkata, "Apa kau ingin bergabung dengan kami, Gisella? Aku akan menjamin kau akan menyukainya."
"Tentu saja, tapi ... sekarang aku sedang diet."
"Tidak perlu makan, kau bisa bergabung meski hanya sekadar nongkrong." Kali ini Jackson berkata, setelah melihat pergelangan tangannya yang dikelilingi oleh arloji berwarna cokelat kayu.
Gisella tidak langsung memberikan jawaban, selain menatap kami berempat secara bergantian. Aku pun hanya tersenyum tipis, sebagai bentuk penghargaan karena tatapan kami saling bertemu. Namun, belum sempat mengeluarkan kalimat ajakan penuh kesopanan, Aiden terlebih dahulu berbisik di telingaku.
"Apa kau akan bergabung dengan mereka?" Dia bertanya dengan nada berbisik tepat di telingaku.
"Karena aku butuh makan, maka jawabannya tentu saja iya." Aku balas berbisik, sehingga sadar atau tidak kami sudah seperti pasangan yang sedang membicarakan kode rahasia peluncuran nuklir. "Tapi ... aku juga merasa tidak yakin."
Aiden menggeser posisi berdirinya agar semakin dekat denganku--lebih tepatnya menempel--hingga aku bisa merasa, bagaimana lengannya melingkar di pinggangku.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu nongkrong bersama teman-temanku."
Kedua alisku refleks mengerut. "What? Are you serious?" Aku tahu mungkin Aiden bermaksud baik, yaitu ingin memproklamasikan hubungan kami di hadapan teman-temannya. "Aku pikir kau akan meluangkan waktu untuk berdua."
"Masih ada banyak waktu untuk berdua. Lagi pula aku tidak akan setiap hari bersama mereka," ujar Aiden, "jadi apa kau mau bergabung denganku?"
"No." Aku menjawab dengan sangat tegas lalu menutup bibir rapat-rapat, agar tidak memaki Aiden. Entah ini yang disebut dengan cemburu buta atau bukan, kenyataannya aku kesal saat Aiden menyamaratakanku dengan teman-temannya. "Aku juga harus menemui seseorang dan--"
"Dunia bukan hanya tentang kalian berdua, Guys." Kami sama-sama menoleh ke arah, di mana suara itu berasal. Yaitu, Alma dengan segala kecongkakan yang tampak menggemaskan untuk hari ini. "Kita di sini juga ingin tahu seberapa serunya, obrolan kalian."
"Maaf, tapi aku yakin kau tidak sepenuhnya ingin mengetahui obrolan ini." Aku mengedikkan bahu, sembari memasukkan kedua tangan di saku depan celana jins. Hal yang sengaja kulakukan, agar Aiden tidak lagi terlalu penempel padaku.
Dan upaya tersebut seratus persen berhasil. Aiden sedikit menggeser sedikit posisi berdirinya dan sedetik setelah dia berada di posisi yang seharusnya ponselku memperdengarkan nada pemberitahuan.
Tidak hanya milikku, tetapi sedetik demi sedetik ponsel lainnya turut memperdengarkan nada singkat. Tentunya ini terasa aneh. Maksudku, jika kebetulan tersebut memang ada, sepertinya itu hanyalah sekitar satu banding seribu. Aku pun menebarkan pandangan, menatap ke seluruh teman-teman sekelas, ke arah Alma, Jakson, dan Gisella, serta terakhir Aiden.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Aiden Kissed Me
Подростковая литератураMegan diam-diam menyukai Aiden dan tidak pernah sekali pun memimpikan untuk berkencan dengan sang Bintang Lapangan. Namun, bagaimana jika satu ciuman di tengah lapangan, ternyata malah membuat Aiden secara tiba-tiba mengklaim Megan sebagai miliknya...