"Apa tidurmu nyenyak?" Suara Aiden menyambut indera pendengaranku, saat kesadaraanku dibangunkan oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan pohon.
Kedua alis serta keningku mengerut, sedangkan mataku menyipit saat menatap Aiden. Pagi ini benar-benar cerah, berbanding terbalik dengan hujan deras semalam. Sembari menguap aku mengubah posisi tidur menjadi duduk di samping Aiden dan melihatnya tampak segar, seolah tidak ada yang terjadi semalam.
"Kau pikir akan tidur nyenyak?" Aku menghindari kontak mata dengan Aiden. Jika mengingat apa yang kami lakukan semalam, rasanya terlalu canggung untuk mengobrol senormal itu seolah ciuman tersebut tidak pernah terjadi.
Tidak. Aku sungguh tidak bisa bersikap normal dan menatap langsung ke arah Aiden, setelah apa yang telah dia lakukan semalam.
Dia terlalu manis dan tahu cara memperlakukan seorang gadis. Demi Tuhan, aku tidak melebih-lebihkan.
"Kau mendengkur. Tentu saja. Memang apa lagi yang bisa membuktikan seberapa nyenyak tidur seseorang, selain mendengkur?" Aiden terkekeh lalu mengait leherku, membawanya mendekat, dan secara lembut dia mengecup pucuk kepalaku. "Naik ke punggungku sekarang."
"Untuk apa?" Kedua alisku terangkat, pura-pura bingung meski kutahu apa alasannya.
Kakiku terkilir dan jika memaksakan untuk berjalan jauh, tentu akan memperparah keadaan serta memperlambat gerakan Aiden. Yeah, meski jika aku naik ke punggungnya pun akan berakhir sama saja.
"Kita harus keluar dari tempat ini sekarang," ujarnya sambil berdiri di hadapanku dan mengulurkan tangannya. Aku tidak berani menatap Aiden, hanya mampu mengalihkan perhatian dengan beberapa jajaran daun yang dibuat Aiden, menjadi tempat menampung air hujan semalam. "Mereka pasti sedang mencari kita karena menghilang, tanpa kabar."
"Apa kau tidak merasakan apa pun?"
"Apa?" Aiden seolah pura-pura tolol, padahal aku yakin dia tahu apa maksudku.
Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Hanya memalingkan wajah sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia harus menebak arah pembicaraanku. Seperti kata Alma saat liburan musim panas tahun lalu di California, dia mengatakan bahwa lelaki sangat suka disiksa dengan rasa penasaran hingga mereka harus menebak banyak hal, demi mengetahui bagaimana sosok gadis idamannya ini.
Akan tetapi, setelah menunggu cukup lama--versiku--ternyata Alma tidak sepenuhnya benar. Memang lelaki yang ditemui Alma di California, masuk ke dalam kategori di atas. Namun, jika di aplikasikan kepada Aiden ....
... kurasa tidak. Yeah, tidak sama sekali karena sekarang, dia mengangkat tubuhku seperti sekarung gandum tanpa permisi terlebih dahulu.
Aku memekik, memukul punggungnya sebagai reaksi awal, dan dia mengejekku dengan kekehan yang menyebalkan.
Benar-benar menyebalkan sehingga aku benar-benar berharap, bahwa dia lebih baik mati saja.
"Turunkan aku, Tuan Kowalsky!" Aku meluruskan tulang punggungku dengan kedua tangan sebagai pijakannya di bahu Aiden. "Kau tahu, aku bukan sekarung gandum yang harus kau bawa seperti ini."
"Memang bukan."
"Lalu turunkan aku dan bawa aku dengan cara manusia normal pada umumnya."
Aiden terkekeh lagi dan terus melangkah ke arah barat. di mana sinar matahari pagi dari arah timur, sesekali menyilaukanku, sehingga aku harus melindunginya dengan salah satu punggung tanganku.
"Kau tahu ...." Aiden bersikeras untuk membawaku dalam keadaan yang sama. "Aku sangat senang saat kau bergantung padaku."
Aku menoleh ke arahnya. "Sayangnya, aku bukan gadis seperti harapanmu," ujarku, "aku bisa melangkah sendiri selama kau bisa menemukan tongkat untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
After Aiden Kissed Me
Novela JuvenilMegan diam-diam menyukai Aiden dan tidak pernah sekali pun memimpikan untuk berkencan dengan sang Bintang Lapangan. Namun, bagaimana jika satu ciuman di tengah lapangan, ternyata malah membuat Aiden secara tiba-tiba mengklaim Megan sebagai miliknya...