017 - He Called It As A Date

98 13 0
                                    

"Aaa ... whoever it is, please help me !!" Aiden semakin mempercepat laju mobilnya, saat aku berteriak meminta tolong untuk yang kesekian kalinya. "And I don't want to go with him!!" Aku melirik ke arah Aiden, nyaris bisa melanjutkan ucapanku sementara ia berbelok tajam. "Please, just take me home!!"

"Kau ini sedang apa?"

Aku menoleh ke arah Aiden, dengan kedua alis mengerut atas pertanyaan super aneh yang terlontar dari bibir lelaki itu.

"Meminta pertolongan kepada siapa pun karena kau telah menculikku." Ada suara aneh dalam ucapanku, di mana hal itu membuat Aiden menoleh. Menatap curiga. "Aku hanya ingin pulang, tapi kau memaksaku masuk ke dalam mobilmu dan kau membawaku pergi ke tempat yang tidak kuketahui sama sekali."

Aiden menghentikan mobilnya secara mendadak, hingga membuatku menjerit akibat terkejut. Safety belt yang kugenggam sejak tadi pun, jadi kucengkram sekuat tenaga seolah benda tersebut mampu menyelamatkanku dari keterkejutan.

Aku menoleh ke arah Aiden secepat mungkin, entah ekspresi apa yang telah kuperlihatkan padanya. Namun, lelaki itu sudah mendekatkan wajahnya--kurang lebih sepuluh centi--menatapku lekat-lekat, hingga membuatku berkedip untuk mengalihkan suasana dan segera menoleh ke arah jalan. Upaya tersebut dirusak oleh tangan Aiden yang langsung menangkup rahangku, agar kembali melihat ke arahnya.

Dia mengarahkan kedua matanya seperti sedang memindai. Suara mesin mobil yang telah berhenti, di tempat antah berantah membuatku menjadi tidak nyaman dengan sikap intens Aiden. Sebisa mungkin, aku memaksakan diri untuk bernapas secara terkendali, mengabaikan betapa heboh batinku di dalam sana. Aiden menarik rahangku, membuatnya semakin mendekat sampai-sampai embusam napas terasa hangat di hidungku.

"Kau yakin ingin pulang sekarang dan akan baik-baik saja setelah kejadian ini?"

Kami belum pernah mengobrol sedekat ini. Terakhir kali, ingatanku adalah ciuman mendadak Aiden, di mana kejadian itu telah memangkas habis jarak cinta dalam diam yang kubangun sejak dulu. Keadaan paling merugikan dan harus kutanggung sendirian. Dengan gagah berani--seperti hewan kecil, tetapi memaksakan diri agar terlihat kuat--aku mempertahankan kontak mata, sambil bernapas se-normal mungkin.

"Selama alasanmu masuk akal, maka akan kuantar kau pulang. Tapi jika tidak kau harus keluar dari mobil ini dan ikut denganku," ujar Aiden lagi, seolah tak sabar menunggu jawabanku.

Sayangnya, aku sendiri tidak tahu harus menjawab bagaimana dan memberikan alasan apa. Steven telah memporak-porandakan otak pintarku, sehingga yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah ingin pulang dan ....

... (mungkin) menangis.

Aiden benar, aku bisa saja akan menangis jika sendirian di kamar tidur lalu membuat mom, dad atau Jackson dan Alma menjadi khawatir di keesokan harinya karena melihat mata bengkakku.

Agar terhindar dari pernyataan Aiden yang memang ada benarnya, aku pun menundukkan pandangan merasa cukup malu karena orang lain lebih memahami keadaanku, daripada diriku sendiri. Sehingga sebelum Aiden mengucapkan lebih banyak kalimat lagi, aku hanya memberikan gelengan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

"Kalau begitu, ayo keluar dari mobil sekarang karena kuyakin kau membutuhkannya. Sama sepertiku, demi mengontrol emosi," ujar Aiden setelah melepas telapak tangan kanannya di wajahku kemudian segera keluar dari mobil.

Aku mengikutinya, dengan sedikit perbedaan yakni Aiden membukakan pintu untukku lalu kami berjalan saling bersisian. Anehnya, tidak seperti Steven, Aiden tidak menggandeng tanganku. Meskipun, aku telah memberikan celah.

Seekor burung hantu memamerkan suaranya di salah satu pohon di sekitar kami, sedangkan kunang-kunang sesekali memperlihatkan cahaya di bagian rerumputan. Aku bertanya-tanya ke mana Aiden membawaku karena aroma khas hutan, menghampiri indra penciumanku dan suara gemericik air serta jangkrik menjadi satu-satunya suara di tempat sepo ini.

After Aiden Kissed MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang