Akibat suara ketukan pintu yang sama sekali tidak berhenti, aku terpaksa harus melepaskan game Plants vs Zombie, demi mengetahui siapa pemilik ketukan pintu.
"I'm coming," ujarku dengan sedikit meninggikan suara, agar dia berhenti mengetuk pintu. Sungguh! Sekitar satu menit mendengarnya, berhasil membuatku kesal.
Aku menoleh ke arah jam berbentuk jangkar kapal yang berisi angka romawi, jarum pendeknya menunjukkan pukul tujuh malam, serta jarum panjangnya ke angka tujuh. Sehingga sebelum benar-benar membuka pintu, otakku berpikir bahwa aku telah menghabiskan waktu lima belas menit demi bermain game dan menghindari Aiden.
Well, aku sangat setuju jika kalian mengataiku sebagai pengecut. Namun, siapa yang tahan saat melihat bagaimana sang mantan kekasih, berusaha mendekati pacarku.
Serius, itu sangat menyebalkan! Terutama saat harapanku kepada Aiden tidak sesuai kenyataan, serta ketika aku tahu siapa yang berdiri di depan kamarku.
"Hai."
Aku bersandar pada pinggir pintu yang terbuka lalu berkata, "Hai."
"Aku hanya ingin berbicara padamu," ujar Aiden dengan nada canggung yang benar-benar menular. "Apa kau punya waktu senggang?"
"Sebenarnya tidak, tapi jika kau bisa meyakinkanku maka aku bisa meninggalkannya." Entah kenapa tidak langsung memaki dan menutup pintu saja, aku malah meminta Aiden agar merayuku dengan alasan meyakinkan.
Aku menjilat bibir keringku, akibat lupa menggunakan liblam selepas mandi, lalu menelusuri lorong kamar penginapan yang tampak kosong melompong.
Aiden menarik napas panjang kemudian mengembuskan, sambil meletakkan kedua tangan yang saling mengatup di depan hidung dan bibirnya. Di lain sisi, aku hanya menaikkan kedua alisku karena tergelitik untuk mengejek bahwa mulutnya sangat-sangat bau. Namun, kutahan karena tidak ingin Aiden tahu tentang seberapa besar kecemburuanku.
"Aku sungguh suka padamu dan kehadiranmu telah memberikan terang dalam hidupku. Jadi jika kau tidak ada, maka aku akan selalu tersesat," ujar Aiden sambil memegang lengan kiriku. "Kumohon, dengarkan dulu dan kau bisa mempertimbangkannya."
Sembari melepaskan tangan Aiden yang berada di lenganku, aku tentu bersikap congkak dengan membersihkan bekas genggaman Aiden lalu berkata, "Kau payah, idiot, dan menyebalkan."
Kedua alis tebal Aiden menyatu kemudian ekspresi sedih menyusul, dengan begitu jelasnya. Di sisi lain, aku pun menegakkan punggungku sambil bertolak pinggang. Yang benar saja, aku akan luluh dengan gombalan payah barusan!
"Apa kau pernah mengatakan kalimat itu pada gadis lain, eh?"
Sedetik setelah mengatakan hal itu, logikaku lantas memaki sekaligus bertanya atas kebodohanku barusan.
Aiden tersenyum miring lalu melilitkan kedua tangannya di atas dada. Dia menundukkan sedikit, hingga tinggi kami sekarang benar-benar selaras dan Aiden bisa menatap kedua mataku dengan sangat jelas.
Perlu diingat, bahwa Aiden memiliki tatapan yang mampu meluluhlantakkan hati seorang gadis, dalam kasus ini dia adalah aku. Di mana dalam sekejap perasaan salah tingkah mulai menggerayangi setiap senti kulitku, sehingga refleks kedua mataku mengerjap kemudian kedua kaki melangkah mundur.
"Megan." Suara Aiden benar-benar menusuk jantungku, sampai aku harus meletakkan kedua tangan di dada demi meredakan denyut supernya. "Apa kau penasaran?" Dia masih saja bertahan dengan posisi awalnya, yaitu menunduk sambil memberikan tatapan menyelidik kepadaku. "Aku bisa mengatakan apa pun yang kau pikirkan."
Refleks kedua alisku mengerut. Ucapan Aiden barusan benar-benar memperlihatkan keangkuhannya. Sehingga tanpa perlu banyak bicara, apalagi berpikir aku pun segera membanting pintu dengan mengabaikan panggilan memohon dari Aiden.
![](https://img.wattpad.com/cover/241298627-288-k851346.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
After Aiden Kissed Me
Teen FictionMegan diam-diam menyukai Aiden dan tidak pernah sekali pun memimpikan untuk berkencan dengan sang Bintang Lapangan. Namun, bagaimana jika satu ciuman di tengah lapangan, ternyata malah membuat Aiden secara tiba-tiba mengklaim Megan sebagai miliknya...