Hari pertama semester baru dimulai, dengan semangatnya Aris menuruni tangga dan berjalan menuju meja makan. Jangan berpikir dia semangat untuk belajar, dia semangat karena untuk pertama kalinya dia akan memulai masa remajanya tanpa perlu direcoki.
“ Pagi mami,” sapanya pada sang mami yang tengah menyusun piring di meja makan.
“ Pagi, tumben kelihatan semangat banget mau sekolah,” ucap maminya yang merasa tidak biasa dengan sikap putra bungsunya itu.
“ Kita kan harus selalu semangat dalam menuntut ilmu mi, nanti kalau Aris nggak semangat salah juga,”
“ Namanya juga hari pertama mi, lihat aja kalau udah lama pasti mulai males,” sahut papi yang tiba-tiba datang.
“ Ck, papi su'udzon mulu sama Aris,” Aris menatap kesal sang papi. Papi hanya mengecilkan bahunya acuh.
Tak lama kemudian, Ares datang dengan tampang datar seperti biasa, mengambil tempat di sebelah Aris dan mulai memakan sarapan yang sudah diambilkan mami. Meski Ares dengan ekspresi dingin adalah hal yang biasa, tapi bagi Aris ada aura yang berbeda dari Ares pagi ini. Jelas Aris tahu penyebabnya, apa lagi kalau bukan masalah sekolah. Pasalnya sejak perdebatan hari itu yang berujung penolakan dari mami dan papi, Ares masih belum menyerah juga supaya bisa mendaftar di SMA yang sama dengannya. Tak mau berlama-lama, setelah menghabiskan sarapannya Aris pun langsung pamit untuk pergi sekolah.
“ mi, pi, Aris berangkat dulu ya,” ucap Aris sambil berdiri dari duduknya.
“ eh, tumben pergi awal biasanya juga harus ditarik dulu baru berangkat,” ucap mami.
“ Biasalah mi, mau menikmati perjalanan dengan motor baru,” ucap Aris sambil memperagakan gerakan tangan saat di motor.
“ Lo nggak berangkat bareng gue?” tanya Ares dengan tatapan tajam.
“ elo kan sama papi, gue naik motor sendiri,” jawab Aris.
“ Kalau gitu gue mau bareng lo,” Ares berdiri dan mengambil tasnya bersiap untuk pergi. Aris langsung buru-buru menghentikannya.
“ Kok bareng gue sih, arah sekolah kita beda woi! Kalau bareng gue, masa iya gue mesti nganterin lo dulu, bisa telat gue, lagian lo kan udah bareng papi,” kesal Aris.
“ Tapi gue mau naik motor,” keukeuh Ares.
“ Ya udah, minta beliin papi sana!”
Makin lama Aris makin merasa kesal sama Ares, udah bela-belain mau berangkat pagi masih aja diintilin. Menatap sang mami berusaha meminta bantuan. Mami menghela napas.
“ Ares, biarin aja Aris berangkat sendiri, kasihan kan kalau kalian berdua dia mesti nganterin kamu dulu,” ucap mami.
“ Ya udah, kalau gitu nanti kita ke sekolah Aris dulu habis itu baru Ares ke sekolah,” ujar Ares santai.
Mami menggeleng pelan, kalau sudah begini berarti Ares udah susah dibujuk.
“ Ya udahlah Ris, sekali ini aja. Kamu tahu sendiri kan Ares gimana,” ucap mami.
Aris hanya bisa menghela napas pasrah
“ Ya udah, ayo!” serunya sambil melangkah gontai.
Ares menunggu Aris di teras rumah, sementara Aris masih di garasi untuk mengeluarkan motornya. Terdengar suara motor dinyalakan, tiba-tiba saja Aris sudah keluar bersama motornya. Namun, bukannya berhenti menunggu Ares, Aris malah langsung mengendarai motornya keluar.
“ Sorry bro, hari ini kita nggak bareng dulu, bye!” teriak Aris yang mulai menjauh dari rumah.
Ares akan mengejar tapi sudah terlambat. Kesal? Pasti, siapa yang nggak kesal ditinggalkan begitu saja. Pada akhirnya, Ares terpaksa masuk kembali ke dalam rumah untuk menunggu papinya.
Di sisi lain, Aris terkekeh senang dengan aksinya hari ini. Sebenarnya, dia sedikit merasa bersalah pada Ares, tapi mau bagaimana lagi. Dia seperti ini juga buat kebaikan Ares. Dengan senyum lebar di balik helm, Aris mengendarai motornya memasuki kawasan SMA Garuda.To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins, Brother Complex
Fiksi RemajaAres dan Aris adalah sepasang anak kembar dengan kepribadian yang bertolak belakang. Bagi Ares, Aris adalah prioritasnya. Menurutnya saudara itu harus selalu bersama. Bagi Aris, Ares itu terlalu posesif. Dia hanya ingin lepas dari Ares yang selalu...