Katanya apabila kita berkali-kali bertemu seseorang yang tidak kita kenal, maka itu bisa jadi takdir. Mungkin pertanda jodoh. Aris percaya takdir, tapi dia tidak percaya dengan yang satu ini. Menurutnya itu hanyalah pertemuan kebetulan.
Hari ini Ares berada di kafe favoritnya itu untuk membaca, sembari menunggu Aris yang sedang latihan basket karena anak itu menelpon minta di jemput. Suatu hal yang kebetulan karena Ares kembali bertemu dengan cewek yang menghampirinya tempo hari. Sejujurnya, ini adalah ketiga kalinya Ares melihat cewek itu. Pertama saat cewek itu salah mengira dia Aris, kedua Ares melihatnya saat kebetulan lewat kafe saja jadi mereka tidak bertemu, dan yang ketiga adalah saat ini di mana cewek itu kembali menghampirinya.
“ Eh, Ris lo ke sini lagi, gue pikir lo waktu itu cuma iseng, nggak nyangka lo bakal ke sini lagi,” ujar cewek yang tidak lain adalah Karin itu.
Ares tak menanggapi, dia memilih melanjutkan membaca bukunya. Karin tersenyum melihat Ares yang di kiranya Aris itu hanya diam. Membuat Karin jadi penasaran dan ingin berbicara lebih banyak kepada cowok di hadapannya, padahal biasanya di sekolah Karin malas sekali meladeni omong kosong Aris.
“ Eh, lo baca buku apa sih,” Karin mengintip sedikit sampul buku yang ada di tangan Ares.“ Oh, buku ini gue juga udah baca. Gue nggak nyangka lo suka baca juga, buku klasik lagi,” ujar Karin.
“ Lo suka juga?” tanya Ares sedikit heran.
“ Lumayan, gue suka baca dan gue baca buku apa aja,” ucap Karin.Ares yang mendengar perkataan Karin sepertinya mulai merasa tertarik, dia belum pernah bertemu cewek yang tahu buku-buku seperti ini. Menurutnya Karin terlihat berbeda dengan cewek-cewek di sekolahnya yang mencoba mendekatinya bahkan dengan pura-pura sok tahu tentang apa pun yang dibacanya.
“ Gue suka bagaimana buku ini mengangkat tema-tema yang masih sering menjadi masalah saat ini, padahal buku ini ditulisi puluhan tahun lalu, gue juga udah nonton filmnya lo, bagus,” ujar Karin.
“ Iya gue juga suka banget sama penulisan novel ini, filmnya juga oke,”
Dan entah sejak kapan, mereka secara perlahan terlibat dalam sebuah obrolan yang cukup panjang. Ares merasa baru pertama kali menemukan orang yang punya selera sama dengannya, dan orang itu adalah cewek yang mana Ares sendiri biasanya malas meladeni mereka. Karin pun merasa sangat senang dengan obrolan ini, padahal biasanya dia paling malas bahkan sekedar mendengar suara Aris. Tapi entah kenapa hari ini suara Aris seperti berbeda, dia merasa tertarik untuk terus mendengarnya. Suara Aris terdengar lebih berat dan terkesan dingin, berbeda sekali dengan suara Aris yang biasanya Karin dengar di sekolah. Karin mulai berpikir kalau mungkin saja Aris memang punya kepribadian yang berbeda saat bersama teman-temannya dan saat tidak bersama mereka.Hingga tak terasa waktu berlalu, dan sebentar lagi kafe akan ditutup. Kafe itu memang hanya buka dari jam sepuluh sampai jam lima sore saja. Lagi pula Ares ingat kalau dia harus menjemput Aris yang tidak membawa motor karena pergi bersama Agil.
“ Ehm, Ris! Bukunya jangan lupa ya!” ucap Karin saat mereka sudah berada di depan kafe.
Tadi mereka sempat membicarakan tentang buku yang belum pernah Karin baca dan dia penasaran, kebetulan Ares punya buku itu. Jadi, Karin berniat meminjam dari Ares.
“ Tergantung, kita bakal ketemu lagi atau nggak,” ucap Ares.
“ Lo kenapa sih, ngomongnya kayak kita baru kenal aja,” Karin terkekeh geli, agak heran juga dengan perkataan Aris.
Ares terdiam, dia akan berbicara tapi Karin lebih dulu membuka mulutnya.
“ Gue sering ke sini kok, lo juga kan?” tanya Karin.“ Gue biasa ke sini pas lagi senggang, tapi paling rutin setiap akhir pekan, Sabtu atau Minggu,” ujar Ares.
“ gue juga sering ke sini di akhir pekan,” Karin berujar senang.
Ares menatapnya heran, pasalnya Ares baru tiga kali melihat Karin di kafe ini.
“ Gue sering ke sini akhir pekan, tapi gue nggak pernah tuh lihat lo,” ujar Ares.
Karin langsung merasa canggung, dia terkekeh pelan sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.“ Ya lo kan tahu sendiri, gue baru pindah beberapa bulan lalu dan gue kebetulan nemu ini kafe, jadi gue ke sini kalau sempat doang soalnya kan gue masih sibuk sama berkas-berkas kepindahan gue. Tapi, beberapa Minggu ini gue selalu ke sini setiap Minggu kok,” ujar Karin.
“ Kalau lo mau kasih bukunya besok juga boleh kok,” lanjutnya.
“ Ya udah, kalau gitu gue duluan ya,” Karin akan beranjak, tapi Ares menahannya. Ares merasa harus meluruskan sesuatu. Namun, belum sempat berbicara HP Ares tiba-tiba berbunyi.
Karin memperhatikan Ares yang sedang berbicara di telepon. Namun, raut wajah Ares berubah setelah beberapa saat. Karin ingin bertanya, tapi setelah menutup telepon Ares langsung beranjak dengan terburu-buru dan wajah yang tampak panik, meninggalkan Karin tanpa mengucapkan apa-apa.***
Setelah menempuh perjalanan 10 menit, Ares pun tiba di sekolah Aris. Jarak dari kafe dengan sekolah Aris memang tidak terlalu jauh, maka dari itu Ares memutuskan untuk menunggu Aris di sana karena Aris pasti tidak mau kalau Ares menunggunya di sekolahan.Ares berjalan dengan sedikit tergesa menuju ke lapangan basket di sekolah itu. Tadi yang meneleponnya adalah Agil, yang mengabari kalau Aris cedera saat latihan. Ares tentu saja khawatir, makanya dia bergegas datang ke sini untuk menjemput Aris, sampai lupa dengan Karin tadi. Bagi Ares saudaranya adalah prioritas.
Tak berapa lama, Ares pun sampai di lapangan basket dengan bantuan satpam yang juga sempat salah mengira dirinya Aris. Dilihatnya Aris duduk di kursi di pinggir lapangan bersama Agil dan Damar yang juga tergabung dalam tim basket. Ares pun bergegas menghampirinya.
“ Lo nggak apa-apa?” tanya Ares sembari memeriksa kaki Ares yang dipeganginya sedari tadi.
“ Gue baik-baik aja, cuma terkilir dikit,” jawab Aris cepat.
Aris gak bohong, cederanya memang tidak begitu parah. Walau begitu rasanya tetap saja sakit. Tapi dia juga tidak bisa bilang karena dia tahu sifat menyebalkan Ares pasti akan langsung keluar.
“ Lo tenang aja bro, kita udah kasih pertolongan pertama kok, jadi nggak akan terlalu bahaya lagi,” ujar Damar yang mulai mengerti bagaimana protektifnya Ares dengan kembarannya itu.
“ Kita ke rumah sakit!” putus Ares.
Aris langsung menolaknya, ia berusaha untuk meyakinkan Ares kalau dirinya tidak apa-apa.“ Cuma cedera biasa Ares, nanti tinggal minta tolong Mang Karman ngurut gue,” ucap Aris, dia merasa ini tidak begitu parah, toh salah satu pekerja di rumah mereka juga bisa memijitnya.
“ Kalau lo nolak, gue bakal bilang mami supaya ngelarang lo main basket lagi,” Ares berbicara dengan nada datarnya.Walau Ares terlihat tenang, tapi Aris tahu kalau Ares tidak main-main dengan ancamannya. Ini bukan pertama kalinya Ares berkata seperti itu dan aris sudah merasakannya. Sebagai anak kesayangan membujuk mami bukanlah hal sulit untuk Ares.
Pernah waktu SMP, Aris suka sekali ikut balap sepeda. Setiap ada lomba dia akan ikut, tapi suatu kali dia mengalami cedera yang cukup parah, Ares benar-benar seperti mengurungnya di kamar selama sebulan. Kalau Aris ngeyel dia akan mengancam seperti tadi. Setelah sembuh dia terus melarang Aris ikut balap sepeda lagi, dan entah apa yang dikatakan Ares, sang mami pun ikut-ikutan melarangnya.Akhirnya, Aris pun tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan Ares.
“ Oke, gue ke rumah sakit, lo mah bawa mami mulu,” ucap Aris kesal.
Mereka pun pulang dengan Aris yang dipapah oleh Ares, diikuti Agil dan Damar yang menjaga dari belakang. Dua orang terakhir itu memperhatikan si kembar dengan pikiran masing-masing. Mungkin mereka merasa kalau Aris beruntung memiliki saudara yang begitu perhatian seperti Ares, walaupun memang terkesan berlebihan. Sementara Aris berpikir bagaimana caranya supaya dia tidak terkekang oleh Ares selama kakinya masih sakit.
To be Continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins, Brother Complex
Teen FictionAres dan Aris adalah sepasang anak kembar dengan kepribadian yang bertolak belakang. Bagi Ares, Aris adalah prioritasnya. Menurutnya saudara itu harus selalu bersama. Bagi Aris, Ares itu terlalu posesif. Dia hanya ingin lepas dari Ares yang selalu...