21-Senyum Manis

31 5 0
                                    

Hari demi hari mulai berubah, Varsha menjadi semakin dekat dengan Erland, Hujan semakin dekat dengan Langitnya.

"Kak Erland, tungguin!" Varsha segera berlari menyusul Erland yang sudah berjalan jauh di depan Varsha.

Sekarang mereka sedang jogging bersama di sebuah taman yang dekat dengan kafe dan rumah Erland. Varsha sengaja memilih taman ini agar ia bisa langsung ke kafe saja nanti. Hembusan angin yang sejuk membuat beberapa daun pada pohon di sekitar Varsha berayun melantunkan bunyi yang indah.

"Sini, cepat." Erland berhenti melangkah, menunggu Varsha yang sepertinya sudah kelelahan untuk berlari lagi.

"Ternyata lari pagi capek juga ya," ujar Varsha yang masih terengah-engah dengan napas yang memburu.

"Namanya juga olahraga."

"Saya pikir bakalan biasa aja. Habisnya setiap berangkat pagi ke Kafe banyak orang lari-larian di sini, tapi kayaknya mereka ga se-capek saya deh."

Erland menggenggam tangan Varsha, lalu menariknya pelan, "Ayo lari lagi bareng saya."

Dengan acuh tak acuh Varsha berlari mengikuti langkah Erland, "Saya udah nyerah, kapok deh ngajak kamu lari pagi."

Erland tertawa pelan mendengar ocehan Varsha yang terdengar lucu di telinganya. Ia membawa Varsha ke sebuah toko yang menjual beberapa minuman dan makanan ringan. Erland tidak tega melihat Varsha kelelahan.

"Matahari-nya panas banget," ujar Varsha sambil menghapus keringatnya.

Erland menyodorkan sebuah botol air mineral, "Ini minum dulu."

Dengan cepat Varsha menghabiskan satu otol air mineral pemberian dari Erland.

"Kamu capek banget ya?"

"Banget. Ini pertama kalinya saya olahraga lagi setelah sekian lama. Biasanya saya cuma olahraga di sekolah."

"Kamu mau temani saya olahraga setiap minggu?"

Sesuai dugaan Erland, Varsha langsung menggelengkan kepalanya cepat, "Mending saya jaga Kafe seharian kalau gitu. Olahraga gini rasanya membuat kita dekta dengan Tuhan."

"Dekat dengan Tuhan?"

"Mau meninggal."

Erland tertawa mendengar ucapan Varsha, "Kamu ada-ada saja."

"Kamu sudah makan?"

"Belum."

"Beli nasi dulu yuk sebelum ke Kafe."

"Bagaimana kalau nanti saya masak nasi goreng saja di Kafe?"

"Memangnya kamu bisa masak nasi goreng?" tanya Varsha, menatap Erland untuk memastikan.

"Kamu terlalu meremehkan saya, saya bisa semuanya."

"Dasar sombong."

"Kamu yang sombong Varsha."

"Kok saya?"

"Kamu selalu memamerkan senyum kamu yang manis itu, kasihan banyak yang iri."

"Haha, memanagnya siapa yang iri?"

"Ibu yang punya toko ini saja pasti iri dengan senyum kamu."

"Sok tahu!"

"Bu, senyum dia manis banget kan? Ibu iri gak?" tanya Erland, membuat Ibu pemilik toko tersenyum.

Ibu itu mengerti akan pertanyaan Erland, memang ada-ada saja anak muda jaman sekarang, "Iya, senyumnya manis banget, saya jadi iri."

Erland tertawa mendengar jawaban dari Ibu pemilik toko yang sesuai dengan ekspektasinya, "Tuh kan apa saya bilang."

Varsha memukul lengan Erland pulang, "Ihh, ayo pulang ke Kafe."

"Kenapa?"

"Saya malu dilihatin sama Ibu itu."

"Bu, masa dia malu, karena punya senyum yang manis."

"Kak Erland!" Varsha berjalan ke arah motor Erland sendiri, meninggalkan Erland di sana. Varsha benar-benar malu karena digoda di depan orang yang tak ia kenal.

"Maaf ya Bu, teman saya ngambek, hehe. Saya pulang Bu, permisi."

Erland berlari mendekat ke arah Varsha dan sepeda mottornya.

"Maaf ya saya cuma bercanda. Ehh ga bercanda sih, senum kamu memang manis."

"Berhenti memuji saya, saya malu tahu!"

"Kamu cantik, kamu manis, kamu kuat dan kamu sempurna." Erland mendekat ke arah Varsha, "Itu semua kelebihan kamu, jangan malu Varsha, beryukur."

"Iya tahu, tapi karena kamu yang bilang seperti itu, saya jadi malu."

"Iya kan saya berbeda." Erland mengelus kepala Varsha pelan, "Saya spesial, iya kan?"

"Nggak." Varsha mengambil helm-nya, "Sudah, ayo berangkat ke Kafe. Kasihan Mbak Nita sama yang lainnya, pasti sekarang lagi banyak pelanggan."

"Kamu benar-benar kasihan sama Mbak Nita atau salting karena lagi bareng saya?"

"Ihh, ayo cepat berangkat!"

"Haha, itu namanya salting Varsha, kamu sedang salah tingkah. Coba lihat pipimu sekarang, merah banget."

Varsha refleks menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "Jangan lihat saya, ayo berangkat aja."

"Kamu lucu banget."

"Kak Erland!"

"Iya-iya ayo berangkat saya tidak akan memuji kamu lagi, haha."

Varsha : Si Pencinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang