1-Perginya Ayah

131 14 6
                                    

"Kamu yang mengharapkan aku pulang, tapi kamu sendiri yang tidak pulang."

-Varsha yang ditinggalkan

******

Suara bacaan surah Yasin terdengar jelas di telinga Varsha. Kini, di hadapannya sudah terbaring lemas tak bernyawa, sosok yang paling berharga dihidupnya. Rumahnya sekarang dipenuhi oleh banyak orang, dihiasi dengan bendera kuning di halamannya.

Ayah Varsha telah tiada, beberapa jam yang lalu. Sosok Ayah terbaik yang Varsha kenal, sosok suami yang baik untuk mamanya yang pernah Varsha tahu.

Saat mendengar kabar bahwa Ayahnya telah tiada, rasanya dunianya juga ikut hancur seketika, hidupnya menjadi merasa tak berguna, separuh hidupnya hilang begitu saja. Suara tangisan Delia-Mamanya terdengar jelas di sebelahnya.

"Ma, tenang ya. Ayah sudah pasti bahagia di sana," ujar Varsha berusaha menenangkan, meskipun di dalam hatinya ada rasa sesak juga pastinya.

"Dasar kamu anak ga berguna, semua ini pasti gara-gara kamu," teriak Delia membentak Varsha.

Varsha terdiam, semua ini sudah biasa diterimanya. Hari ini hanya ada satu yang berbeda, sudah tidak ada lagi belaan Ayahnya. Ayah yang selalu menjadi sosok penenang dalam hidupnya sudah tidak ada, penenang itu sudah hilang.

"Bu, sabar ya," ujar Bu RT yang juga ikut menenangkan Delia. Pasalnya Delia tidak hanya menangis sewajarnya, tapi ia juga berusaha menyakiti dirinya sendiri.

Varsha diam, memasrahkan Mamanya kepada Bu Rt. Ia menatap kosong Ayahnya yang tak ia sangka akan pergi secepat ini, bahkan sebelum Varsha membahagiakanya.

Jenazah Ayahnya sekarang sudah ditutupi kain kafan. Varsha berjalan mengikuti rombongan orang-orang, untuk pergi ke tempat peristirahatan terakhir Ayahnya.

Tangis yang sedari tadi Varsha tahan akhirnya tumpah juga. Dia sudah tidak bisa menahan semua rasa sakit di dadanya.

"Kamu jangan pernah sedih ya, kamu jangan pernah menangis. Ayah akan selalu ada di samping kamu, memeluk kamu di bawah derasnya hujan."

Perkataan itu sekarang hanya bisa tersimpan di benak Varsha. Sudah tidak bisa lagi ia dengarkan kalimat itu dengan nyata.

Perlahan tubuh Ayahnya sudah tertutup oleh tanah. Tangisannya semakin menjadi-jadi saat melihat itu semua.

"Ayah, bilang sama Varsha sekarang kalau ini semua cuma mimpi," lirih Varsha menangis sesenggukan.

Hatinya sekarang seolah dihujani oleh ribuan pisau yang baru saja diasah. Kini cinta pertamanya sudah tidak lagi nyata berada di sisinya, cinta pertamanya sudah berpindah ke surga.

Satu persatu orang-orang mulai pergi, saat ini sudah tinggal Varsha seorang diri, di samping batu nisan Ayahnya yang baru saja ditancapkan.

"Ayah kenapa cepat pergi? Kenapa Ayah ga tepatin janji? Nanti siapa yang bakalan peluk Hujan pas lagi sedih? Ayah tega tinggalin Hujan? Ayah rela Hujan kecil ini sendirian?" monolog Varsha sambil mengelus batu nisan Ayahnya.

Hujan, sebuah nama panggilan kesayangan dari Ayahnya, tidak ada yang memanggil dirinya dengan sebutan Hujan selain Ayahnya. Ayah bilang, 'Kamu itu cuma Hujan kecil milik Ayah.'

"Hujan sekarang menangis, tanpa pelukan Ayah. Kenapa Ayah ga pergi bareng Hujan aja? Kenapa Ayah lebih dulu pergi tinggalin Hujan?"

Kenangan-kenangan bersama Ayahnya melintas di dalam pikiran Varsha, membuat dirinya kembali menangis tersedu-sedu.

Varsha : Si Pencinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang