17-Kenal

36 5 0
                                    

Rumah bernuansa monokrom itu kini sudah ada di hadapan Varsha. Ternyata rumah Erland tak jauh dari kafe, jadi tak heran jika Erland sering banget datang ke Kafe.

"Assalamualaikum Ma," salam Erland sambil memasuki rumah setelah membuka sepatunya.

Sesampainya di dalam mereka sudah disambut oleh Tya-Mama Erland dengansangat antusias.

"Salam kenal tante," ujar Varsha sambil bersalaman dengan Tya.

"Wahh ternyata kamu udah besar ya sekarang." Tya memandangi Varsha, lalu memeluknya.

Varsha menerima pelukan itu meski masih bingung, sekarang sudah besar? Memang sebelumnya mereka sudah pernah bertemu?

Tya melepaskan pelukan itu, "Kamu tambah cantik juga."

"Ngg, kita sebelumnya pernah ketemu ya tante? Maaf saya lupa hehe."

"Lah kamu ga kenal tante? Kamu anaknya Abian yang punya Kafe Hujan kan?"

Varsha mengangguk, ia masih tetap bingung. Bukannya Erland tidak tahu bahwa dirinya pemilik kafe? Tapi, kenapa Mama Erland bisa tahu?

"Iya mungkin kamu lupa, pokoknya mah kita pernah ketemu dulu."

"Ohh iya tante."

"Ma, Varsha-nya mau Erland bawa dulu ya," ujar Erland kepada Mama-nya. Karena, jika tidak dibilang bisa-bisa Varsha diajak mengobrol sampai malam.

"Kemana?" tanya Tya.

"Kamar."

Tya terkejut dengan jawaban anaknya, "Land kamu jangan macem-macem sama Varsha!"

"Iya Ma, Dibuka kok pintunya." Erland menarik tangan Varsha agar mengikuti arah jalannya.

Mereka kini sudah sampai di kamar Erland, kamar berwarna abu dengan wangi yang khas. Disana terdapat rak yang berisi banyak buku dan barang-barang milik Erland. Menurut Varsha kamar Erland lumayan berantakan atau masih mending ya buat kamar seorang cowok? Entahlah.

"Kamu tunggu disini dulu ya, saya ganti baju dulu." Erland segera pergi menuju sebuah pintu, pintu menuju kamar mandi.

Varsha memperhatikan seisi kamar Erland. Ia membaca satu persatu judul buku yang Erland punya agar tidak terlalu bosan. Huh, kenapa dirinya tidak ditinggalkan bersama tante Tya saja daripada sendirian disini.

Erland keluar dari kamar mandinya dengan bertelanjang dada, bodo amat seolah tidak ada oang selain dirinya. Varsha yang melihat itu secara spontan menutup kedua matanya, meskipun tadi ia sudah sempat lihat.

"Saya sudah selesai, yuk kita pergi." Erland mengambil tangan yang barusan masih menutup wajah Varsha.

Mereka sama-sama keluar dari kamar Erland, disana terdapat Tya yang sepertinya sedang membaca majalah.

"Ma," panggil Erland, "Erland sama Varsha mau jalan-jalan dulu ya."

"Iya sana berangkat, hati-hati."

"Ga mau nitip apa-apa?"

Tya menggeleng, "Mama masih kenyang, sana lama-lamain pdkt-nya."

Erland tertawa pelan mendengar jawaban dari sang Mama.

"Saya pamit keluar dulu ya Tante," pamit Varsha kepada Tya.

Varsha segera menyusul Erland yang sudah berada di halaman rumah, siap dengan sebuah sepeda berwarna biru muda.

"Kita naik sepeda?"

"Iya, biar bisa menikmati angin."

"Oke, ayo berangkat."

Sebelum berangkat Erland berteriak terlebih dahulu, "Ma, Erland pinjam sepeda ya."

Hembusan angin yang sangat sejuk membuat Varsha merentangkan tangannya. Ia sudah lama tidak bersepeda.

Di sekitarnya kini terdapat banyak gerobak-gerobak kecil yang sedang menjual berbagai macam makanan.Ada siomay, bakso, martabak, gado-gado, es degan dan banyak lagi. Di pinggir trotoar juga dihiasi dengan banyak pohon serta bangku-bangku taman sebagai tempat duduk.

Erland memberhentikan sepedanya di depan gerobak siomay, "Pak, siomaynya dua. Makan di sini ya pak."

"Siap Mas."

Erland menggenggam tangan Varsha, menuntun Vrasha untuk duduk di bangku yangdi sediakan oleh penjual siomay.

"Penjual siomay ini namanya Pak Jani," ujar Erland memberi tahu Varsha yang sedang melihat Pak Jani membuat siomay milik mereka

"Terus?"

"Yang jual bakso namanya Pak Asep." Varsha menolehkan kepalanya, mencari gerobak bakso dan Pak Asep, "Nah kalau yang jual martabak itu namanya Pak Joko, dia paling laku di sini."

"Kamu kenal dengan mereka semua?"

"Iya, saya suka disuruh beli-beli kesini sama Mama. Sambil nunggu yang saya pesan selesai, saya kenalan deh sama mereka, mereka orangnya asik."

"Beneran?"

"Iyalah ngapain juga saya bohong."

"Kayaknya seru deh, bisa nongkrong gitu ya."

Varsha memang tidak pernah nongkrong atau sekadar jalan-jalan sendirian maupun dengan teman. Menurutnya, nongkrong dan jalan-jalan itu tidak seru jika tak bersama Ayahnya. Tapi, bersama Erland seru juga.

"Masih banyak tempat-tempat yang saya datangi sendirian, selain kafe dan di sini. Ada alam juga saya suka ke bukit, bukit dekat sini yang jarang orang tahu."

"Bukit di belakang kafe?" tanya Varsha.

"Iya, kamu tahu?"

"Tahu, saya dan Ayah dulu sering kesana."

"Ohh." Erland mengangguk sebagai jawaban.

Pak Jani dengan dua piring siomay dan dua gelas es teh datangmenghampiri Erland dan juga Varsha.

"Siomay spesial paling enak di sini sudah datang," ujar Pak Jani sambil meletakkan esanan mereka.

"Makasih pak."

"Neng, namanya siapa? Cantik banget, pantesan Mas Erland jadikan pacar."

Varsha tertawa pelan, "Makasih sudah bilang saya cantik. Nama saya Varsha Pak, saya bukan pacarnya Kak Erland kok."

"Ahh pasti bohong," Pak Jani menatap ke arah Erland, "Gas aja atuh Mas, cocok kok."

"Haha iya, doain aja Pak."

Pak Jani pergi dari hadapan mereka, melayani pelanggan lain yang baru datang.

"Kamu kenal Ayah saya kan?" tanya Varsha.

"Iya kenal."

"Kok enggak bilang sama saya?"

"Kan saya sudah pernah bilang kalau saya kenal dengan pemilik Kafe Hujan, kamu-nya enggak percaya."

"Tapi kenapa kamu pura-pura tidak tahu saya?"

"Tidak apa-apa, mau aja."

"Sejak kapan kamu mulai kenal dengan Ayah saya?"

"Sudah lama," jawab Erland tanpa berpikir.

"Ceritakan dong, saya ingin tahu."

"Nanti saya cerita."

Varsha : Si Pencinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang