22-Hutan dan Bukit Rahasia

37 4 0
                                    

Varsha dan Erland mengurungkan rencananya untuk cepat-cepat pergi ke Kafe. Namun, mereka sedang di sini sekarang, berjalan menyusuri hutan kecil yang berada di belakang Kafe, tidak dekat, tapi tidak jauh juga.

Hutan ini dihiasi dengan banyak jenis pohon, mulai dari pohon beringin hingga pohon pinus. Hembusan angin yang sejuk menyusuri pohon demi pohon, membuat pohon-pohon itu menari, dan melambaikan rantingnya. Burung-burung yang sedang duduk di atas ranting pohon juga tenang sambil saling mengadu bunyi cuitannya yang tak kalah merdu dari suara daun yang terkena angin.

"Kapan kamu terakhir ke sini?" Erland bertanya sambil menundukkan kepalanya, menatap daun-daun kering yang telah berguguran ke tanah.

"Beberapa bulan yang lalu, sebelum Ayah meninggal. Bahkan, satu jam sebelum Ayah meninggal, dia berjanji akan mengajak saya ke sini, tapi Ayah bohong, Ayah tak pernah kembali lagi, tak akan pernah."

"Sekarang kan sudah ada saya, saya siap kok 24 jam menjaga dan menemani kamu."

"Tapi kamu siapa? Kamu tidak mendapat peran apa pun dalam hidup saya."

"Bukan tidak, tapi belum."

Varsha menolehkan kepalanya, menatap Erland. Ia hanya menatapnya, menunggu kalimat apalagi yang akan Erland ucapkan nanti.

"Kalau tidak, berarti saya memang tak mungkin mendapat peran apapun dalam hidup kamu. Tapi, jika belum, bisa saja besok, lusa atau kapanpun, saya mendapat peran dalam hidup kamu. Lagipula saya kan sudah mendapatkan peran sementara, menjadi Langit penjaga Hujan."

"Kok sementara? Memangnya kamu mau mendapatkan peran apalagi di dalam hidup saya?"

Erland menarik tangan Varsha pelan, mengajaknya duduk di bawah pohon rindang yang dilengkapi daun-daun kering yang berguguran di bawahnya.

"Maunya sih sebagai pasangan, tapi lagi-lagi ekspektasi bisa saja tak kejadian. Jadi, saya mau yang pasti-pasti saja. Saya mau menjadi sosok penenang bagi kamu."

"Saya tidak memerlukan sosok penenang, saya kan Hujan."

"Kamu mau berjanji bisa menjadi Hujan yang tegar dan tenang tanpa sosok langit yang menjadi penenang?"

Varsha terdiam, "Langit saya sudah tiada, hilang dijemput Tuhan."

"Kata siapa? Langitmu masih ada dsini, duduk berdua bersamamu."

"Duduk menikmati indahnya bukit dan hutan rahasia ini membuat saya semakin sedih," lirih Varsha, menatap kosong arah bukit yang berada dekat di hadapannya.

"Kenapa?"

"Saya kangen Ayah, saya ingin kembali duduk berdua bersama Ayah di sini."

Erland mendekat ke arah Varsha, merangkulnya dan membawa Varsha ke dalam dekapannya.

"Bayangkan saja saya yang tidak ada dan Ayahmu yang sedang memeluk kamu di sini."

Varsha yang mendengar kalimat itu, secara tak sadar mulai meneteskan air matanya, "Saya tidak mau, saya tidak mau menganggap kamu juga hilang. Asal kamu tahu, Ayah tidak bisa digantikan oleh siapa pun, siapa pun tanpa terkecuali."

"Hujan, tenang ya. Saya akan tetap ada di sini bersama kamu."

Erland salah, kalimat barusan tak dapat  menjadi penenang bagi Varsha. Varsha yang sedang memejamkan matanya malah semakin membayangkan wajah Ayahnya, membayangkan pelukan hangat Ayahnya.

"Hujan, sekarang kamu bisa menangis di dalam pelukan Ayah." Kalimat itu singgah sebentar di dalam pikiran Varsha, membuat Varsha dapat kembali merasakan sesak di dadanya seperti hari itu, hari dimana Abian meninggalkannya, hari dimana dunianya hancur seketika.

"Kembali ke Kafe saja yuk, saya ingin minum secangkir teh panas," ajak Varsha yang sudah tak kuat menahan sesak di dadanya.

"Tenangkan diri kamu dulu."

"Hanya secangkir teh panas yang bisa membuat saya tenang."

Akhirnya, Erland mengalah, ia menuruti permintaan Varsha untuk kembali ke Kafe.

"Mbak Nita, teh panasnya dua ya," pesan Erlaand kepada Mbak Nita yang hedak menghampiriya.

"Siap Mas."

"Maaf ya sudah membuat kamu sedih. harusnya saya tidak mengajak kamu ke bukit tadi."

Varsha menggelengkan kepalanya, "Enggak kok, saya senang bisa kembali mengunjungi bukit, saya senang bisa kembali mengunjungi bukit bersama kamu."

"Iya, kan saya istimewa."

"Dih, siapa yang bilang kalau kamu istimewa? Gaada tuh."

"Dasar gengsi, bilang  aja kali."

"Ish, enggak tau!"

"Iya iya, saya istimewa."

"Enggak!"

Erland yang senang menggoda Varsha dan Varsha yang tak akan pernah mau mengungkapkan isi perasaannya, berdebat tanpa henti, hingga sosok penengah pun datang, Mbak Nita dengan nampan yang berisi dua cangkir teh hangat.

Varsha : Si Pencinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang