25-Janji

34 3 0
                                    

Keadaan Varsha saat ini sudah mulai membaik, rasa sakitnya sudah mulai menghilang. Varsha sedang berjalan menyusuri satu-persatu gerobak yang berjejeran, tentunya bersama Erland di sampingnya. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk membeli bubur ayam.

"Makan yang banyak, biar kamu bisa cepat sembuh."

"Makasih buat doanya. Tapi, saya sudah sembuh," ujar Varsha dengan lahap memakan buburnya.

"Kamu masih terlihat pucat, saya takut kamu kenapa-kenapa."

"Saya enggak apa-apa, Kak. Percaya  deh, coba lihat muka saya, emangnya masih terlihat seperti orang sakit? Enggak kan?"

Erland mengangguk mendengar jawaban dari Varsha, mungkin dirinya saja yang terlalu khawatir. "Setelah ini kita mau kemana?"

"Ke makam Ayah dulu yuk. Saya kangen Ayah, banget."

"Iya, tapi habisin dulu buburnya."

"Saya sudah kenyang."

"Nanti bubuurnya nangis loh kalau kamu tidak habiskan."

"Bubur mana bisa menangis. Saya bukan anak kecil lagi, ga bisa dibodohi."

"Memangnya kamu tahu perasaan bubur itu bagaimana? Makan saja, apa susahnya."

Varsha kembali memakan buburnya sampai habis, sedangkan Erland tersenyum melihat Varsha yang mengikuti perintahnya, lucu.

*****

Mereka sudah sampai, di sebelah batu nisan Abian.

"Ayah, Hujan kangen." Varsha jongkok di sebelah batu nisan Abian sambil mengelusnya, "Hujan pergi ke sini bareng Langit."

Erland mengembangkan senyumnya, Varsha menyebut namanya dengan sebutan Langit, sudah lama tak ada yang memangilnya seperti itu.

"Ternyata Langit itu cowok ga jelas yang gangguin kita, pas pertama kali Ayah tinggalin Hujan." Varsha menoleh ke arah Erland, sambil mengingat kejadian saat Erland menghusirnya dulu, "Tapi, Langit baik kok, baik banget. Kenapa Ayah ga kenalin Hujan sama Langit dari dulu? Langit orangnya menyenangkan walau ya agak sedikit menyebalkan. Untung saja takdir mempertemukan Hujan dan Langit, jadi Hujan merasa aman, merasa aman karena ada Langit, si penjaga Hujan."

"Hujan orangnya baik banget Om, cantik dan tegar juga. Tapi katanya dia gak suka dipuji, padahal dia layak untuk dipuji. Hujan sekarang gak sesombong dulu, hanya saja sekarang dia selalu memamerkan senyumnya, senyum yang membuat banyak orang takluk. Saya sih tidak masalah dengan itu, tapi saya hanya tidak kuat dengan efek senyumannya, membuat saya tidak bisa bernafas."

"Apasih, kamu berlebihan."

"Tuhkan Om, Hujan memang tidak mau dipuji, padahal itu semua memang layak untuk dipuji."

"Sudah deh. Ayah, Hujan mau pulang dulu ya, mungkin minggu depan atau kapanpun itu pasti kesini lagi. Doain Hujan biar bisa yang terbaik aja." Varsha menatap batu nisan Ayahnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca, "Hujan kecil ini perlu Ayah."

Varsha menundukkan kepalanya, menangis sesenggukan mengingat akan sosok Ayahnya. Erland menghampiri Varsha, memeluknya erat.

"Varsha, tenang ada saya," ujar Erland yang tak diperdulikan oleh Varsha. Ia tetap dengan posisinya, menunduk sambil menangis sesenggukan.

"Kamu berbeda."

"Hujan," panggil Erland lembut, mencoba untuk menangkan Varsha. Ia terdiam cukup lama karena tak ada jawaban maupun bantahan dari Varsha. Erland mengelus kepala Varsha, memberikan waktu untuk Varsha agar bisa  tenang dengan sendirinya. Erland yakin bahwa Varsha hanya membutuhkan waktu untuk meluapkan semua emosinya, hanya itu.

"Saya kangen Ayah, saya ga mau Ayah pergi, saya ga mau sendirian di rumah, saya pengen di peluk Ayah, saya mau main hujan lagi bareng Ayah. Masih banyak kegiatan yang ingin saya lakukan lagi dengan Ayah, Langit."

Erland berusaha tetap diam, memberi ruang untuk Varsha mengeluarkan semua yang ada di hatinya.

"Hanya Ayah yang bisa mengerti saya, hanya Ayah yang mengerti Hujan, hanya Ayah yang bisa menenangkan saya, hanya Ayah yang bisa memeluk saya di bawah hujan, hanya Ayah."

Erland memeluk Varsha, "Hujan, ingat kamu itu tegar, kamu itu kuat."

"Langit," panggil Varsha.

"Iya, saya di sini."

"Kamu bisa kan jadi penenang bagi saya? Kamu bisa kan mengerti tentang saya? Kamu bisa kan menemani saya? Kamu bisa kan memeluk saya di bawah hujan? Kamu bisa kan, Langit?"

"Saya bisa Hujan, saya bisa semuanya, untuk kamu."

"Janji ya, jangan tinggalkan saya, jangan mengecewakan saya, jangan hilang dari sisi saya, jangan pernah seperti itu ya."

"Iya Hujan, iya saya tidak akan seperti itu, janji."

Varsha tetap dalam pelukan Erland. Ia tak mau melepasnya. Langit Si penjaga sekaligus penenang Hujan benar-benar datang.

Varsha : Si Pencinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang