Chapter 3

627 58 2
                                    

Reiga menjadi yang paling terakhir duduk di meja makan saat sarapan pagi ini. Wisnu memang selalu mewajibkan keluarganya untuk makan bersama setiap hari, minimal sarapan.

Reiga menyerahkan sebuah amplop kepada ayahnya. Wisnu menghentikan makannya lalu membuka amplop tersebut. "Udah beres semua ini administrasinya? Ada yang perlu dibayar lagi?" tanya Wisnu setelah membaca undangan wisuda Reiga itu.

"Nggak, Yah, udah beres semua. Ayah bisa dateng, kan?"

"Pasti Ayah dateng. Mbak sama masmu udah Ayah suruh cuti biar bisa dateng juga. Ini kamu udah beli undangan lagi, kan?"

"Udah, sih. Tapi beneran Mbak Rei sama Mas Arga mau dateng ke wisudaku?" Reiga menatap kedua kakaknya bergantian.

Reina mengangguk menjawab pertanyaan Reiga, sementara Arga hanya mengedikkan bahunya sambil meneruskan makannya tanpa menatap adiknya sama sekali. Reiga menurunkan bahunya ketika melihat reaksi kakak laki-lakinya. Arga memang begitu, dia terlalu cuek pada Reiga.

"Kamu belum ambil cuti, Ga?" tanya Reina ke Arga yang duduk di sebelahnya, masih asyik menghabiskan makanannya.

"Belum, gampang. Paling cuma butuh bilang sama Saka aja," jawab Arga enteng.

"Yah," panggilan Reiga terdengar agak ragu-ragu.

"Kenapa, Dek?" balas Wisnu.

"Bisa nggak, wisuda besok Ayah nggak usah manggil media?"

Arga refleks mendengus geli mendengar pertanyaan adiknya. Dia menyeringai sambil geleng-geleng dengan kepala masih menunduk fokus ke makanan, "Is that really a question?" Reina memukul lengan Arga untuk menyuruhnya diam.

"Dek, dengerin Ayah, kamu itu anak terakhir Ayah. Kamu wisuda itu jadi penanda bahwa tugas Ayah buat nyekolahin anak-anak Ayah udah selesai. Ayah mau masyarakat tahu kalau Ayah udah berhasil membawa semua anak-anak Ayah menyandang gelar sarjana. Kalau mau nerusin S2 kayak mbak masmu itu udah beda urusannya."

"Tapi aku pengin acara wisudaku besok tu khidmat, Yah. Aku juga pengin acara besok itu lebih privasi aja."

"Mereka nggak akan ganggu jalannya wisuda. Mbak sama masmu waktu wisuda juga sama seperti itu. Jadi kamu tenang aja, anggep aja mereka nggak ada."

"Tapi-" Reiga tidak jadi mengajukan protesnya. Dia tahu betul, memang tidak ada gunanya mengajukan permintaan seperti tadi ke ayahnya. Ana yang duduk di sebelahnya mengusap-usap punggung Reiga dengan lembut.

"Kamu tu masih nggak sadar juga?" Arga meletakkan sendok garpunya dengan posisi menelungkup di atas piring yang sudah kosong, dia mendongak menatap adiknya yang duduk di depannya yang lebih dulu menatap dirinya dengan pandangan bingung. Yang lain juga ikut menatap Arga yang kini sudah melipat kedua tangannya di atas meja, "Kamu nggak denger tadi? Wisuda kamu itu nggak penting, yang penting itu cuma image Ayah di depan kamera yang udah berhasil nyekolahin anak-anaknya sampai sarjana."

"ARGA!" kalimat Arga tadi sontak mengundang bentakan dari Wisnu, Ana, dan Reina. Sedangkan Reiga masih menatap Arga dengan ekspresi tak terbaca. Dia mengerti sekali apa yang kakak laki-lakinya maksud. Dia tahu, tapi memilih untuk tidak tahu.

Arga beranjak dari duduknya, tidak mempedulikan tatapan menghakimi dari ayah, ibu, dan kakaknya. "Aku berangkat."

"Eh bentar, Ga, Mbak nebeng," Reina meletakkan sendok garpunya lalu meminum susu vanilanya sekali habis, setelah itu dia ikut berdiri dan mengambil tas kerja serta blazer-nya.

"Mobil Mbak belum selesai diservis?" tanya Arga.

"Udah, tapi masih di apartemen sekarang."

"Lah, terus semalem pulang naik apa?"

Triptych √ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang