Mountain Of Light : Part 11

1.1K 71 12
                                    

(Trivia)

Janji, begitu rapuh.

Hidup, begitu rapuh. 

Jangan pernah berjanji tentang apapun yang akan datang dalam kehidupan karena kita tahu, suatu hari ... itu hanya sebuah janji.

Karena tidak ada yang akan bertahan selamaya, sekalipun itu akhir bahagia, terlebih ketika itu mendekati akhir.

***

(Preview)

"AKU BUKANLAH CALON ISTRIMU!" teriak Delia sekuat yang ia bisa.

Ia ingin Mikail mendengarnya. Ia ingin pria itu sadar bahwa Delia berhak memilih, berhak meminta. Tidak serta merta ia hanya bisa dikendalikan Mikail begitu saja.

Tapi respon yang terjadi benar-benar diluar dugaan.

"K-kau bilang apa?" pinta Mikail, nadanya benar-benar terkejut. Seketika ia terdiam. Ia berjalan mundur sedikit sedikit, matanya masih menatap Delia kosong. "Kau tidak menolakku tadi malam..." bisiknya dengan suara lirih, matanya kini tertunduk ke bawah.

Gertakan Delia tampak menusuk hati Mikail. Tidak, bukan hanya hati, tapi juga harga diri dan perasaannya.

"Kau...a-aku pikir... kita..." Ia tidak berkata apa-apa lagi, siap untuk pergi dari tempat itu. "Tak apa, maafkan aku..."

"Mikail ..." panggil Delia begitu melihat Mikail beranjak pergi menghilang.

Rasa bersalah menggerogotinya dalam sekejap, membuatnya terapung dalam tangis yang hampir pecah.

"Mikail, aku mohon..." panggilnya lagi. Namun bayangan itu tidak berbalik.

"Mikail..."

Mikail-nya pergi.

***

"Daniel?" kata Delia begitu nada sambung berhenti dan telepon diangkat. "Kau tahu di mana Mikail?"

Daniel tampak terkejut mendapat sebuah telepon dari suara yang ia kenali suara Delia dan langsung ditembak mengenai keberadaan sepupunya. 

"Mikail? Tentu saja di rumahnya kalau sudah selarut ini. Bisa ada di mana lagi pria seperti dia?"

Delia menghela nafas. Setetes air mata mulai turun dari kelopak matanya. Selalu begini. Ia selalu bisa menahan tangis ketika mulutnya terkunci rapat, tapi berbicara dengan Daniel mengenai Mikail tidak membuat pertahanannya terjaga.

Sebaliknya, tetesan-tetesan air mata itu mulai berubah menjadi isakan."Kami... kami bertengkar," desah Delia di sela tangisnya.

Daniel memfokuskan diri dengan apa yang dikatakan Delia, sebagian karena ia penasaran kenapa Delia terdengar begitu emosional dan sebagian lagi karena ia harus memasang telinga ekstra jeli untuk mendengar perkataan yang keluar bersamaan dengan isakan.

"Dan dia pergi. Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Aku sudah mencarinya ke seluruh ruangan di rumah ini, ke lingkungan sekitar, aku sampai mengecek pos polisi setempat tapi aku tidak bisa menemukannya..." Suara Delia terdengar frustasi.

Isakan halusnya kini berubah menjadi segukan-segukan yang terdengar jelas. Pipinya sudah basah, suaranya tidak karuan. Tapi Delia tidak peduli. Yang kini ia pedulikan adalah keberadaan pria yang baru ia sadari begitu dicintainya, tepat setelah ia pergi.

"Aku bahkan tidak tahu tempat lain selain rumah ini," lirihnya pedih, menyadari bahwa selama ini ia tidak tahu banyak tentang Mikail, sementara Mikail tahu terlalu banyak tentangnya. "Tolong aku..."

Mountain Of LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang