Jika dalam satu hari terdapat 30 jam, dan ada lima sosok diriku yang mampu bekerja sesempurna apa yang aku lakukan, mungkin aku akan menghabiskan hidupku dengan bersenang-senang.
Tapi sayangnya kehidupan tak berjalan seperti itu, hanya ada 24 jam dalam sehari, dan hanya ada aku yang menjadi diriku sendiri.
Mikail
-
Pria itu sudah hampir dua jam duduk di bandara.
Matanya terpaku pada jendela yang menghadap landasan udara di mana banyak pesawat sedang parkir dan beberapa lainnya bersiap untuk lepas landas. Sejak pertama kali duduk di situ, pria itu sama sekali tidak mengalihkan pAndangannya.
"Sir, we missed our second-planned flight. It's nearly 3 o'clock, we should have left Manhattan for Singapore an hour ago."
Suara seorang wanita terdengar panik. Ia tidak tahu bagaimana ia harus membeli tiket ke Singapur disetiap penerbangan hanya karena atasannya terus membatalkan penerbangan demi memandangi landasan pacu.
"Is there something wrong?" Wanita itu menatap khawatir pada atasannya.
Pria itu sama sekali tidak bergeming. Ia hanya bergumam dengan suara rendah sementara matanya masih terpaku ke arah landasan.
"Cancel the flight and the meeting, set another date."
Wanita itu menatap sang atasan dengan mata membesar tidak percaya. Ia menghabiskan ribuan dollar untuk dua kali penerbangan tiket kelas satu yang dilewatkan begitu saja dan berakhir dengan pembatalan tidak masuk akal.
Ia hanya bisa menarik nafas dan menahan emosinya. "When will it be exactly?"
"I don't know. Perhaps tomorrow, perhaps next year," kata pria itu sedikt kesal. "Who are you to ask? I decide!"
Gertakan dengan suara pelan namun tajam itu membuat sang wanita bisu seketika. "I'm sorry, Sir."
"Saya tidak mau dipanggil seperti itu. Stop calling me 'Sir'. And you can go home, take Jack with you."
"And you?" tanya wanita itu memastikan.
Jika ia pulang dengan supir pribadi sang atasan, bagaimana pria itu akan pulang nantinya? Ataukah ia akan naik pesawat ke salah satu negara yang dipilihnya dengan papan dart?
Tipikal pengusaha besar yang masih muda dan memiliki motto I can do whatever I want.
"I'll stay for a while here."
"Do you need anything?" tanya wanita itu lagi sebelum ia bersiap lari dari kondisi penuh tekanan ini.
Ia sama sekali tidak suka dengan ritme kerja yang diberikan atasannya, tapi ia tidak bisa menolak dan hanya bisa bersikap sopan sebisanya.
"Yes, I need you to shut the fuck up and leave already," gumam pria itu, sekali lagi dengan nada tajam dan tanpa menolehkan sedikitpun pandangannya.
Wanita berambut cokelat itu buru-buru membungkuk dan memohon diri sebelum atasannya kembali menjejalnya dengan omelan yang tiada akhir. Mood-nya tidak baik hari ini. Oh tidak, mood-nya tidak pernah baik semenjak ia bekerja dengannya tiga bulan ini. Entah karena apa.
Setelah wanita itu pergi, pria itu kembali menatap burung besi tua yang masih dalam posisi seperti lima menit yang lalu.
Ia memejamkan matanya sejenak, menarik nafasnya dalam.
Entah apa yang dipikirkannya. Ia sengaja melewatkan penerbangan ke Singapore demi duduk di ruang tunggu yang hiruk-pikuk, memandangi landasan pacu yang ditempa sinar matahari sore yang menguning.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mountain Of Light
RomanceCopyright © 2013 by agustineria Dilarang mengcopy, menjiplak, dan memperbanyak tanpa seijin penulis. Jangan membudayakan plagiarism. Perhatian: Cerita ini dikhususkan bagi followers saya saja. *** Aku membutuhkanmu lebih dari apapun di dunia ini...