Mountain Of Light : Part 6

673 45 4
                                    

"Delia, tinggallah bersamaku ..."

-

Delia pikir telinganya bermasalah. Mungkin ia harus menemui dokter THT. Atau mungkin ia terlalu lelah seminggu ini sampai otaknya tidak menerima sinyal yang dikirim indera pendengarannya dengan benar. 

Mikail memintanya pindah ke rumahnya? 

Knock knock on the wood, is this for real?

Keraguan akan pendengarannya itu segera sirna ketika Mikail melanjutkan perkataannya—permintaannya. Matanya sendu, tapi excited. Wajahnya santai, tapi penuh pengharapan.

"Move in with me, stay in my house, in my room." Mikail berkata pelan, sejelas yang ia bisa. "You can do whatever you want there, you can re-decorate everything, you can cook, you can watch TV all day. You can do everything—including going shopping and hanging out with your friends—but please, move in with me."

Delia kehilangan kata katanya. Permintaan ini, dan segala fasilitas yang ditawarkan benar-benar membuat Delia caught off guard. Tidak pernah terlintas, dalam ruang imajinasinya yang paling liar sekalipun, bahwa Mikail akan memintanya melakukan  hal ini. 

"Sir, I.." Delia tergagap dalam kata katanya, sebenarnya tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Apa yang harus dikatakannya.

"Apa yang kuminta berlebihan?" Mikail bertanya lembut, membuahkan sebuah gelengan yang terlalu keras dari Delia.

"Bukan begitu, tapi tinggal denganmu, Sir? Apakah—"

"Kau punya kekasih?" sela Mikail. "Dia akan keberatan jika aku memintamu pindah denganku?"

"Tidak, Sir," jawab Delia. Ketika ia melihat dahi Mikail berkerut, ia tahu jawabannya ambigu untuk pertanyaan yang mana. 

Delia mengulangi jawabannya dengan lebih jelas kemudian. "Maksudku, aku tidak punya kekasih."

"Untuk saat ini, itu adalah hal yang bagus," sahut Mikail. Ada sedikit gurat yakin di bibirnya bahwa Delia akan setuju meski gadis itu sendiri belum tahu apa yang akan dikatakannya.

Terlalu banyak hal yang bermain di benak Delia. Saking banyaknya, semua itu saling berkait seperti benang kusut yang Delia sendiri tidak tahu ia harus mulai berpikir dari mana. 

Ia butuh waktu. Waktu untuk mengurai benang kusut itu agar ia bisa berpikir lebih baik. Tapi, apakah ini butuh pemikiran lebih baik? Perlukah sebuah pemikiran ulang jika seorang most wanted eligible bachelor in town memintanya untuk tinggal bersamanya meski bukan dalam hubungan romantis?

Hubungan romantis? Delia mendesah dalam pikirannya. Ia teringat sesuatu, seseorang. "Bagaimana dengan Miss Johanson?"

"Maureen?" Mikail mengulang nama itu seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Maureen?" tanyanya sekali lagi.

Delia mengangkat bahunya. "Aku, aku hanya menebak, tapi kurasa aku tidak bisa menghalangi kalian."

Mikail tertawa. Sebuah tawa hambar yang menyembunyikan kepahitan. Ia membuang pandangannya ke arah lain, lalu kembali pada Delia. Wajahnya canggung, tapi ia juga tampak ingin menertawakan takdir kehidupannya sendiri. 

"Maureen... Oh my, oh my, if only you know," desahnya terdengar frustasi. "Dia hanya mantan tunanganku, tidak lebih dari itu. Bagaimana kau bisa menghalangi 'kami'?"

Perkataan Mikail meninggalkan Delia sebuah hening yang cukup panjang. Mikail membenarkan posisi duduknya, lebih condong ke arah Delia. "Kau ingat Ethan Storm? Oh, jelas kau mengingatnya," ucapnya sarkastis, merujuk pada kejadian di pesta semalam. 

Mountain Of LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang