Trivia
Kita bernapas untuk hidup, untuk selalu melangkah kedepan, agar mampu melihat hari esok yang lebih baik.
Jika saat ini kau masih bernapas, majulah! Terus maju hingga kau menemukan hari esok yang lebih baik dan seseorang untuk saling berbagi.
-
Mentari pagi merangsak masuk melalui celah jendela. Delia menyipitkan matanya hendak beradaptasi dengan cahaya terang tersebut ketika ia terkesiap. Posisinya langsung duduk di atas ranjang dengan kedua lengan menutupi tubuhnya.
Ia ingat semalam.
Ditolehkannya kepalanya ke samping. Desahan nafas lega terdengar ketika Delia tidak melihat bosnya di sana. Ia segera merapikan dirinya sambil terus memantrai otaknya agar tidak berpikir apapun yang aneh-aneh.
Tapi setelah apa yang terjadi kemarin malam, bagaimana dia bisa tidak memikirkan apa-apa? Atau bahkan tidak berpikir sama sekali? Entahlah, kepalanya terlalu pusing memikirkan hal ini dan itu.
Memang tidak terjadi apa-apa. Tapi Delia merasa semalam adalah malam dengan tidur yang paling nyenyak.
Ia tidak terbangun di tengah malam, tidak bermimpi apapun. Ia hanya tidur dalam sebuah fase yang sangat nyaman.
Ia tidur dalam pelukan Mikail.
-
Sepuluh menit kemudian, setelah selesai sikat gigi, cuci muka, dan berganti pakaian—setelah acara 'menginap' dadakan kemarin, Delia menyiapkan satu baju ganti di tasnya, just in case—Delia keluar dari master bedroom tersebut. Kakinya telanjang, tidak menemukan slipper yang dipakainya semalam.
Ia langsung berjalan menuju dapur, mencium wangi kopi yang berasal dari sana. Langkahnya dipercepat ketika ia melihat Mikail sedang kesulitan merapikan coffee pot dan cangkir yang akan digunakannya.
Jelas tidak terbiasa melayani dirinya sendiri.
"Anda mau sarapan, Sir?" kata Delia mengambil alih pekerjaan Mikail.
Ia buru-buru menangani coffee pot itu tanpa sadar bahwa alat itu masih tersambung ke stop kontak dengan lampu indikator menyala. "Biar aku yang menyiapkannya untuk—AW!" Jarinya menyentuh dinding coffee pot yang panas dan segera menariknya kembali.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Mikail panik. Ia langsung menarik tangan kanan Delia yang terluka dan melihat ruam merah di keempat jarinya. Tidak terlihat parah, tapi ia tahu jelas rasanya pasti perih.
Mikail meniup bagian yang terkena panas dengan mulutnya di dekat tangan Delia, membuat gadis itu bersemu merah pada detik yang sama.
Canggung dengan keadaan tersebut, Delia menggigit bibirnya seraya menarik kembali tangannya. "Aku baik-baik saja," katanya buru-buru menyembunyikan tangannya yang terluka.
"Tapi ini merah," kata Mikail tidak mau dibantah.
Delia menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja, Sir."
"Lebih baik kau duduk di sofa itu sementara aku mengambilkan obat untukmu," ujar Mikail pada akhirnya. Ia tahu gadis ini akan terlalu keras kepala untuk memperlihatkan lagi tangannya.
Namun lagi lagi Delia menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Sir. Aku masih bisa menyiapkan sarapan untukmu."
"Aku bilang duduk di situ," perintah Mikail sambil menunjuk sofa yang dimaksudnya tadi.
Nada bicaranya tajam dan memerintah dengan arogan, tahu bahwa hanya dengan cara itu Delia akan menurutinya. "Kita sarapan di luar saja hari ini."
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Mountain Of Light
RomanceCopyright © 2013 by agustineria Dilarang mengcopy, menjiplak, dan memperbanyak tanpa seijin penulis. Jangan membudayakan plagiarism. Perhatian: Cerita ini dikhususkan bagi followers saya saja. *** Aku membutuhkanmu lebih dari apapun di dunia ini...