Mountain Of Light : Part 16

30 5 0
                                    

(Preview)

"Her heart is no longer beating. There's no pulse. You saw the record with your own eyes. She left us."

Kalimat itu kembali bergema dalam pendengaran semu Mikail setiap kali ia mengingat Simon dan apa yang dilakukannya pada wanita yang Mikail cintai.

Kalimat singkat Ethan sesaat setelah ia mengumumkan kematian gadisnya di kabin pesawat. Butuh waktu lebih dari sepuluh menit sampai Mikail sadar bahwa Ethan-lah dokter yang waktu itu menerobos masuk, mencoba menyelamatkan Delia.

But he didn't make it. They lost her...

"I miss you, baby..."

Suara maskulin itu begitu rapuh.

Mungkin harinya sudah berubah. Ia pergi bekerja, pergi bertemu dengan para klien. Ia sudah mulai teratur makan dan bicara dengan orang lain selain tempat tidur di kamarnya. Pekerjaan yang menumpuk sudah semakin sedikit, membuatnya kembali menjadi Mikail yang workaholic.

Tapi ketika malam datang menjemput dengan langit berwarna gelap dan sunyi merambat ke setiap penjuru rumah, Mikail menemukan dirinya sendiri berdiri termangu di salah satu sudut kamar dengan ingatan yang menjelajah ke masa lalu.

Ia bisa melihat gadis itu tersenyum di tempat tidurnya. Atau ketika gadis itu sedang duduk menyisir rambutnya yang basah setelah mandi. Atau saat Mikail membaringkan tubuhnya, ia bisa melihat gadis itu berbaring di sampingnya dengan sebuah kerlingan mata yang amat dirindukannya.

Wajah itu...

Rambut itu...

Tubuh itu...

Mikail hidup dalam diam. Diam karena ia tidak sanggup bicara. Tidak sanggup bicara karena ia tahu detik di mana ia melafalkan nama itu, dunianya tidak akan bisa kembali utuh. 

Ia berusaha menyusun kembali puzzle kehidupannya. Bukan untuknya, tapi untuk bayaran atas kesalahannya. Itulah hukumannya.

Namun apa gunanya berdiri di atas runtuhan yang tidak pernah bisa dibangun, seorang diri.

All he could think of is... if he had to deal with the world alone, his enemy should be as well. An eye for an eye.

-

"Ethan!!" teriak gadis itu, lalu mendesah dengan kedua mata terpejam. 

"Ah," katanya menyandarkan tubuhnya di atas tumpukan bantal yang sudah berantakan sejak tadi. Ia melongok sedikit dan menemukan Ethan sedang menyimpulkan sebuah senyum.

"Terimakasih," bisik pria itu tiba-tiba, di sela sela kegiatannya menciumi puncak kepala Maureen. Tangannya masih mendekap gadis itu dengan erat seakan-akan Maureen akan kabur bila ia melonggarkannya sedikit saja.

Maureen tertawa kecil. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap sepasang mata Ethan. "You always say thank you to the girl you are making love to?"

"Well, hanya padamu saja, kalau kau ingin tahu," aku Ethan dengan sebuah senyum yang sebisa mungkin ia tahan. 

Temaram ruangan yang mereka tempati sekarang tidak bisa menutupi air muka keduanya. Ethan dan Maureen, and another set of game they had just played.

Maureen mengerutkan keningnya sembari memposisikan tubuhnya agar bisa leluasa mengobrol dengan Ethan. "You only say thank you to me or you only make love to me and say thank you afterwards?"

"Keduanya?" Ethan menyediakan jawaban, yang jelas membuat Maureen semakin tidak mengerti. Sejurus kemudian Maureen mendengus.

"Kau berpikir kau akan percaya pada apa yang keluar dari mulutmu?"

Mountain Of LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang