17. Inspirasi dalam Kuah Seblak

110 18 18
                                    

Aroma lavender menguasai indra penciuman Garnish sejak memasuki kamar Vivian. Ia menyandarkan leher di sudut ranjang, melepas gunting dan kardus di tangannya. Sabtu pagi ini, mereka membuat janji untuk bertemu di rumah gadis itu. Vivian yang lebih dulu mengusulkannya, gadis itu begitu antusias saat menemukan nama mereka berada dalam satu kelompok yang sama.

Berdua saja, hal yang sangat jarang terjadi. Untuk memanfaatkan hal itu, ia meminta Garnish yang datang ke tempatnya karena gadis itu selalu menolak dengan alasan sibuk membuat kue. Tapi sekarang tidak bisa lagi karena Vivian menawarkannya atas dasar tugas.

Berbeda dari senyum yang terus mengembang di wajah Vivian saat menggambar pola kupu-kupu dan kepompong untuk tugas membuat media pembelajaran dengan materi metamorfosis, Garnish malah menekuk wajahnya kusut.

Pandangannya menatap lurus hijang berwarna putih yang menggantung di dinding, di mana terdapat banyak sekali foto-fotonya bersama Vivian yang terpajang dengan jepitan kayu warna-warni. Suasana kamar itu nyaman dan menyenangkan, tapi tak bisa membuat hati Garnish turut ceria.

"Lo kenapa, sih? Sakit lagi, ya?" tanya Vivian ketika mendapati lingkaran mata hitam mirip panda itu berada di wajah Garnish lagi. "Bukannya lo udah kurangin orderan?

"Bukan masalah orderan, Vi."

"Terus apa? Lo ... males karena gue suruh ke sini?"

Garnish segera bangkit, meski tak melihat wajah Vivian, ia bisa mendengar nada kecewa dalam suara sahabatnya itu. "Bukan, gue seneng kok, bisa jalan-jalan ke sini."

"Terus kenapa?"

Bibir bawahnya digigit lemah, Garnish menatap Vivian dalam-dalam. Ia sebenarnya tak perlu ragu untuk menceritakan tentang kegundahannya pada Vivian, sebab ia yakin bahwa gadis itu adalah orang yang bisa dipercaya. Hanya saja, masalah yang dialami Garnish kali ini dirasa terlalu memalukan bagi gadis itu.

Ia tak tahu dari mana harus memulai kisahnya. Rasanya mungkin akan canggung kalau Garnish bilang dia tak bisa melupakan sosok Gavin semenjak pertengkaran mereka kemarin. Garnish tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Vivian jika dia mengaku memiliki perasaan aneh, sensasi meledak-ledak seperti kembang api di jantungnya, juga geli seperti kepak sayap kupu-kupu layaknya gambar-gambar yang dipegang Vivian saat ini.

"Cerita, dong," bujuk Vivian lagi.

"Gue ... lagi ngerasa bersalah," sahut Garnish akhirnya. Ia tak bisa mengatakannya secara gamblang, tapi setidaknya hal yang ia ucapkan barusan juga bukan kebohongan. Sebab rasa bersalah adalah salah satu di antara ribuan rasa yang sekarang menghantui gadis itu.

"Sama siapa?"

"Gavin, kemarin gue marah-marah sama dia karena dia bikin gue ketinggalan notes di kampus."

"Notes yang selalu lo bawa-bawa itu?"
Vivian langsung teringat, Garnish membalasnya dengan anggukan lemah. "Setahu gue lo sayang banget sama buku itu, kok, bisa sampe ketinggalan gara-gara Gavin doang?"

Vivian memandang Garnish dalam-dalam, seolah sedang membaca pikiran gadis itu. Garnish sendiri membiarkannya, bahkan dia berharap kalau Vivian benar-benar bisa memahami keadaan ini tanpa ia harus bercerita secara langsung. Di sisi lain ia sendiri merasa gugup, lantas mengambil kembali kardus dan guntingnya, sok sibuk memotong sesuai pola yang ditentukan.

"Jangan bilang lo ...."

"Gue kok kepikiran dia terus, ya, Vi?" tanya Garnish cepat, sudah menduga kalau Vivian akan mengutarakan hipotesis aneh.

"Lo deg-degan tiap deket dia?"

Garnish mengangguk meski ragu.

"Lo seneng tiap ada waktu ketemu dia?"

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang