10. Berdua di Restoran

145 25 44
                                    


Garnish sibuk menggulir layar ponselnya, memilih-milih barang yang sedang diskon. Setelah tak mendapatkan jawaban dari Gavin tadi malam, Garnish entah mengapa merasa bersalah. Jadi, dia memutuskan untuk mengikuti saran pemuda itu bertukar kado tapi dalam versi yang berbeda. Baru kali ini ia merasa beruntung dengan adanya kemajuan zaman. Gadis itu tersenyum lebar, dalam hati memuji dirinya sendiri yang bisa memberi saran brilian untuk bertukar kado dengan saling check out keranjang belanja di online shop. Sehingga mereka tak perlu repot-repot pergi berdua. Membayangkan ajakan Gavin tadi malam saja sudah membuat Garnish geli.

Tapi untungnya Gavin setuju, dengan syarat mereka harus beli barang dengan harga di atas lima puluh ribu rupiah. Katanya jika tidak begitu, ia khawatir kalau Garnish hanya akan memberinya sebiji permen. Akhirnya, setelah menjelajahi toko online dengan jarinya, ia berhenti ketika melihat sebuah benda yang terasa identik dengan pemuda itu, dengan harga yang masih bersahabat di kantong tentu saja. Tepat lima puluh ribu lima ratus rupiah. Garnish tertawa geli melihat hal itu.

"Lebih lima ratus, nih," gumamnya senang.

Jari gadis itu dengan cekatan memesan barang yang diinginkannya dan memilih metode pembayaran. Ia memang tidak menautkan akun belanja online dengan rekening bank, tapi Garnish tak merasa direpotkan bila harus pergi ke mini market terdekat untuk membayar pesanannya. Lagi pula, hari ini dia memang harus keluar untuk mengantarkan tiga puluh kotak bento pesanan Clara. Karena itu pulalah sekarang ia menunggu di depan gerbang sebuah panti asuhan dan duduk di atas motor matic-nya.

"Sudah nunggu lama, Nish? Maaf ya tadi masih repot di dalam," kata Clara saat menghampiri Garnish.

"Oh, enggak masalah, Ra."

"Uangnya udah aku transfer, ya."

"Iya, udah masuk kok, makasih loh udah order di aku."

"Eh, mau masuk dulu enggak?"

"Enggak usah, aku mau ada keperluan juga nih ke mini market depan."

Seusai Clara hilang di balik pagar, Garnish kembali melajukan motornya menyusuri jalanan. Alih-alih berhenti di mini market depan seperti niat awalnya, gadis itu malah melanjutkan perjalanan. Menuju tempat yang telah lama tidak ia pijak. Dadanya tiba-tiba sesak, memori masa lalu menguar, hadir seperti bayang-bayang semu yang mengitari tubuhnya. Sebuah restoran cepat saji yang kini berganti menjadi sebuah restoran all you can eat ala Korea.

Garnish mengusap bulir air mata yang menyusuri pipinya. Tangan yang tadi berpengangan erat di stang motor mulai mengendur, gadis itu beranjak, membiarkan motornya terparkir di depan halaman resto. Sedangkan dirinya melangkah ke waralaba di sebelahnya. Menuntaskan pesanan untuk Gavin. Hanya beberapa menit berselang, gadis itu keluar dan kembali ke motornya. Tapi matanya jadi membelalak sempurna saat mendapati orang yang tadi pagi menguasai pikirannya tengah berada di depan motor gadis itu.

"Lo ngapain di sini? Ngikutin gue?"

"Enak aja! Emang lo pikir ini restoran bokap lo?"

Garnish terdiam, ia menatap lagi beranda restoran yang dulunya adalah toko kue favoritnya, gadis itu tak bisa menahan perubahan ekspresinya, menyaksikan tempat yang dulu jadi ladang bagi Garnish untuk menyemai mimpi, kini telah direnggut begitu saja.

"Eh? Kenapa lo?" tanya Gavin setelah melihat perubahan di wajah Garnish.

"Enggak kenapa-kenapa." Gadis itu kembali melangkah, meski kemudian kakinya tercekat ketika Gavin meraih tangan Garnish. "Lo mau masuk, kan? Sana masuk."

"Lo mau ikut?"

Garnish terdiam lagi. Ia ragu untuk menghabiskan uang yang baru didapatkannya dari Clara. Meski sangat ingin masuk dan mengulang lagi kenangan masa kecilnya dulu yang samar-samar karena pasti desain tempat itu sudah banyak berubah, Garnish tetap harus menahan diri.

"Diam-diam aja dari tadi. Ayo gue traktir." Gavin seolah bisa menebak jalan pikiran gadis itu.

"Widih, dapat duit dari mana, Bos?"

Gavin mengeluarkan voucher makanan. "Gue dapat voucher pembukaan resto ini, paketan gitu, banyak nih dapatnya. Gak abis juga kayaknya kalo makan sendiri."

"Ah, gila! Beruntung banget, sih!"

"Iya dong, ayo dah, ikut gue."

Garnish kembali terdiam, ia takut kalau saat masuk nanti, air matanya malah akan luruh. Tapi ia juga tak mau kehilangan kesempatan emas begini, bukan karena makanannya. Hanya saja, harga makanan disitu memang tak bisa Garnish raih dengan mudah, jadi ia mungkin tak punya kesempatan untuk masuk ke restoran itu lagi nanti.

"Mau enggak?"

"Mau!"

Tanpa menunggu lebih lama, Gavin menarik tangan gadis itu. Membukakan pintu dan disambut pelayan restoran dengan ramah. Mereka memilih meja paling ujung atas permintaan Garnish karena gadis itu ingin makan dengan rakus tanpa ditatap aneh oleh orang sekitar. Gavin yang mendengar alasan konyol itu hanya mengangguk setuju, ia tak masalah makan di mana saja.

"Kalo enggak ada gue, lo mau makan di sini sendiri aja, gitu?"

"Iya."

"Ngenes amat."

"Gue biasa gitu, kok. Yah, sebenarnya baru-baru aja, sih. Beberapa tahun terakhir gue berusaha untuk ngelakuin semuanya sendiri."

"Kenapa?".

"Bahagia gak mesti harus berdua."

"Apaan sih, kayak yang pernah berbahagia berdua aja lo."

"Jangan salah, gue ...  biasanya tiap tahun selalu tuker kado sama seseorang." Gavin tersenyum bangga, di pikirannya melintas wajah orang itu. "Ulang tahun kami sama, karena itu waktu tahu ulang tahun lo juga sama kayak gue, gue jadi kepikiran buat lakuin hal itu lagi."

"Kenapa lo enggak ajak dia lagi aja?"

"Dia lagi di luar negeri."

Pikiran Garnish berkelana, menebak-nebak siapa kiranya yang dimaksud Gavin. Tapi gadis itu selalu bermuara pada pemikiran bahwa ia pasti gadis yang istimewa. Tanpa sadar Garnish berdecak, ia tak menyangka bahwa pemuda dengan tampang seperti Gavin juga pernah punya kekasih. Ia merasa kalah telak.

Garnish meneliti gerak-gerik pemuda yang kini tampak fokus mengaduk-aduk irisan daging tipis di panci kecil dengan sumpit. Sedangkan Garnish kebagian tugas memanggang daging lain yang dipotong lebih tebal. Baru kali ini gadis itu melihat Gavin dengan seksama, setelah ia perhatikan, pemuda itu punya rahang tegas, alis rapi yang tidak terlalu tebal, dan hidung kecil yang mancung. Jika ia tak punya masalah kulit, dia bisa dikategorikan punya wajah yang cukup tampan. Gavin mengangkat dagingnya, kemudian menaruhnya di mangkuk Garnish.

Pemuda itu tersenyum jahil. "Ngapain lo lihat-lihat gue?"

"Idih, apanya?" Garnish kelabakan. Pandangannya hilir mudik ke seluruh penjuru restoran, hingga ia mendapatkan sebuah poster yang terpajang tepat di belakang pemuda itu sebagai alasan. "Gue lagi lihat Mas Jiko di belakang lo," kata Garnish menyebutkan nama pemain sinetron yang sedang naik daun.

Gavin ikut menengok ke belakang lalu kembali menatap Garnish dengan senyum tambah lebar. Lesung pipi pemuda itu kembali muncul, membuat Garnish tak bisa berkata-kata.

"Banyak yang bilang kalo gue mirip sama dia, loh."

Jantung Garnish mendadak berdebar tak keruan. Ia baru sadar, bahwa Gavin benar-benar mirip dengan Mas Jiko yang kebetulan juga ia idolakan. Hanya saja, jika Mas Jiko putih seperti susu, maka Gavin adalah versi kopinya. Menutupi gugup, gadis itu memilih mengambil daging di mangkuk dan menutupi wajahnya dengan itu. Sok sibuk menghabiskan semua makanan yang tersaji di meja. Ia jengkel sekali pada senyum puas yang hadir di wajah Gavin.

[To Be Continue]

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang