13. Tipe Ideal

89 17 24
                                    

Gavin tercenung di depan cermin. Sejak membuka mata dan melihat pantulan wajahnya sendiri di sana saat baru bangun dari tidur, Gavin sudah terpana. Bahkan sampai satu jam berlalu, sesudah mandi dan berpakaian santai. Ia masih betah berlama-lama di depan cermin. Bukan untuk menanyakan siapa yang paling tampan di dunia seperti kebiasaan ratu di dongeng putri salju, karena pemuda itu sadar diri bahwa ia tak akan mencapai derajat itu.

Namun, hal yang kali ini ia lihat juga merupakan salah satu bentuk keajaiban. Berkali-kali Gavin meyakinkan diri sendiri bahwa penglihatannya tidak salah. Wajahnya kini tampak lebih bersih dengan kepergian jerawat. Tanpa menahan diri, pemuda itu bersorak girang. Melompat ke atas kasur dan menari-nari layaknya di trampolin, tak peduli meski spreinya makin runyam tak keruan. Toh, hari ini hari Minggu, waktunya Garnish untuk datang dan membersihkan tempat itu.

Euforianya belum usai, tapi Gavin memilih kembali menekuri wajahnya di cermin persegi yang tergantung malas di kamar indekosnya. Kali ini pemuda itu tersenyum lebar, ditambah gayanya yang lebay, seolah menjadi model alat kosmetik. Gavin tak menyangka bahwa hari seperti ini akan tiba juga di hidupnya setelah hampir tiga tahun penuh penderitaan bersama wajah buruk rupa. Padahal, baru tiga Minggu semenjak Garnish membuatkannya bekal sehat dan kue sihir itu, rupanya benar-benar manjur. Tak sia-sia Gavin menggelontorkan dana yang lumayan.

Pintu tiba-tiba diketuk, Gavin tak merasa kencannya dengan cermin itu terganggu karena ia tahu siapa yang ada di balik papan itu.

"Selamat pagi, selamat datang!" seru Gavin ceria.

Garnish yang melihat perubahan sikap pemuda itu jadi mengernyitkan dahinya. Lantas mengangkat telapak tangan dan menempelkannya di dahi Gavin, memastikan suhu tubuh pemuda itu berada dalam keadaan normal.

"Kenapa lo? Kesambet pagi-pagi."

"Gue lagi bahagia, nih. Coba liat, deh. Lo pasti tahu."

Mata gadis itu menyipit, makin dibuat bingung melihat ekspresi Gavin yang baginya menggelikan karena terus-menerus menaik turunkan alisnya disertai cengiran.

"Apaan?"

"Lo beneran enggak nyadar?" tanyanya yang membuat Garnish menggeleng, sukses membuat helaan napas berat keluar dari mulut Gavin. "Muka gue!"

"Muka lo kena---astaga! Iya, Vin, muka lo jadi mendingan!" seru Garnish ikut senang saat melihat perubahan wajah pemuda itu. "Jerawatnya udah enggak ada, nih, yah meski panunya masih."

Meski kata-kata Garnish tak sepenuhnya seperti yang diharapkan Gavin, pemuda itu tetap santai, kembali memasang wajah gembira. Gavin tak mau merusak hari bahagia ini. Meski fakta bahwa wajahnya tak lantas berubah jadi pangeran tetap mengganjal, Gavin mencoba untuk menerima hal itu dan menikmati tiap prosesnya.

"Sihir lo manjur, Nish," katanya sembari mengacungkan jempol.

"Iya dong, gue gitu loh."

"Ya udah, lo mau bersih-bersih, kan? Gue tunggu di ruang tamu depan, ya."

"Siap," balas Garnish. Tangannya membentuk simbol hormat yang membuat Gavin terkekeh pelan.

Gadis itu masuk ke kamar Gavin tanpa menutup pintu, ia tak mau ambil risiko kalau-kalau ada barang yang hilang, sebab dengan begitu Gavin sendiri bisa mengawasi kerjanya dari ruang tamu. Bahkan untuk menghindari kecurigaan, Garnish sudah lapor terlebih dahulu pada Bu Fani bahwa dirinya menawarkan jasa bersih-bersih. Wanita pemilik indekos itu tampak senang-senang saja, karena katanya para penghuni indekos putra memang jarang melakukan pembersihan sehingga kamar yang ia sewakan kadang memiliki bau tak sedap atau gangguan lainnya.

Beberapa penghuni lain pun tahu akan keberadaan Garnish, tak jarang mereka juga memakai jasa gadis itu meski tidak rutin seperti Gavin. Terlebih kondisi indekos yang selalu sepi di hari Minggu karena orang-orangnya memilih tidur setelah semalaman menghabiskan waktu di luar, seperti yang biasanya dilakukan kaum muda-mudi.

Sesudah meletakkan sapu dan pel di tempat semula, Garnish menutup pintu kamar Gavin. Ia telah selesai. Gadis itu berjalan santai, menghampiri pemuda yang kini baru saja datang dari gerbang dengan membawa dua mangkuk bakso.

"Eh, lo mau makan bakso? Itu gue udah bawain bento buat hari ini loh," ucap Garnish cepat.

"Ya elah, Nish, bosen kali bento mulu tiap hari sarapannya. Hari Minggu libur dulu lah."

"Ye, tapi dimakan lo nanti siang, jangan mubazir."

"Iya, siap, Nyonya!" seru Gavin sembari meletakkan mangkuk itu pada satu-satunya meja kecil di ruang tamu. "Ayo makan dulu."

"Lo beliin gue nih ceritanya?"

Gavin mengangguk. "Anggap aja perayaan atas berhasilnya upacara pengusiran jerawat dari muka gue."

Tanpa disuruh lagi, Garnish duduk di hadapan Gavin. Menguasai kursi kosong yang tersisa. Ruang tamu itu memang hanya punya dua kursi. Wajar saja karena memang jarang ada tamu yang berkunjung, kalau pun ada biasanya pasti teman sesama laki-laki, jadi mereka lebih nyaman mengobrol di kamar masing-masing.

Bola daging berukuran sedang yang terbuat dari campuran daging sapi dan urat itu beralih tempat, menggelinding di mulut Garnish yang makan dengan lahap. Bagi gadis itu, makanan gratis selalu punya rasa yang dua kali lipat lebih enak.

"Eh, cie ada yang nge-date, nih."

"Malam minggunya telat, ya? Udah pagi, Vin."

"Kalian cocok banget deh, chemistry-nya kuat."

Celetukan demi celetukan dilemparkan oleh para penghuni indekos yang baru saja pulang dari lari pagi, terlihat jelas dari keringat yang menghiasi wajah mereka dan handuk yang dengan kompaknya tergantung di leher ketiganya.

"Idih, cocok apanya. Gue bukan tipe dia, dia juga bukan tipe gue," elak Gavin cepat, tak peduli meski ia masih mengunyah bakso di mulutnya. "Iya, kan Nish?" lanjut pemuda itu meminta pembelaan.

Garnish sontak saja mengangguk.
"Kita cuma cocok jadi partner."

"Halah, tipe. Jatuh cinta mah soal hati, Nish, Vin." Seorang pemuda dengan kaos oblong mendekat, merebut garpu dari tangan Gavin dan mencomot satu baksonya tanpa bisa dicegah. "Nanti kalo suka, enggak kepake lagi tuh yang kalian omongin."

"Eh, jangan salah, gue jatuh cintanya hati-hati kali." Gavin masih tak terima. "Gue lihat dulu tu cewek harus putih, tinggi, lembut. Hitung-hitung memperbaiki keturunan lah." Gavin melirik Garnish.

Gadis itu melayangkan pukulannya tanpa canggung. "Gue juga kali, kalo gue mah enggak harus ganteng, yang penting bersih, enggak kayak lo."

"Udah, deh, kita pergi yuk, lagi ada kekerasan dalam rumah tangga, nih."

Sepeninggal ketiga pemuda itu, Garnish dan Gavin saling bertatapan tajam. Sepersekian menit, hingga pandangan mata keduanya melemah, tapi tetap tertaut pada titik yang sama. Tak ada yang bersedia memutus kontak lebih dulu. Meski apa yang diucapkan Gavin tak terlalu menusuk hatinya, entah mengapa Garnish merasa sedikit kecewa saat dihadapkan pada fakta bahwa ia memang tak bisa jadi idaman seseorang. Tanpa gadis itu tahu, bahwa di sudut hati Gavin juga merasa tak percaya diri saat gadis itu menyebutkan tipe idealnya.

[To Be Continue]

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang