14. Tugas Kelompok

86 17 22
                                    

Lingkaran mata hitam tercetak jelas di wajah Garnish, hasil dari kerja kerasnya yang tidak tidur tadi malam untuk lembur mengerjakan tugas analisis bahan ajar. Tapi hal itu tak mengurangi semangatnya untuk tetap berkutat di dapur. Kali ini gadis itu menghampiri oven, memasang sarung tangan anti panas dan mengambil cetakan kue yang isinya telah matang.

Garnish selalu mengingat pesan-pesan yang disampaikan oleh mentor-mentornya dari seminar yang selalu gadis itu ikuti tiap kesempatan. Baginya, belajar tak cuma di sekolah, ia bisa mendapatkan pengetahuan dari acara-acara seperti itu. Jika tidak, Garnish tak mungkin bisa membuat kue seperti sekarang. Keluarganya tidak punya garis keturunan koki, itu terlihat jelas dari ibunya yang selalu kekurangan gula dalam masakan, atau ayahnya yang hanya hobi mengabiskan makanan.

Jadi, gadis itu selalu berusaha sendiri untuk mengetahui trik-trik memasak. Salah satunya teknik memanggang kue, yang katanya lebih baik menggunakan pencetak kue berbahan logam, ketimbang silikon yang sebenarnya praktis hanya saja memerlukan waktu cukup lama. Pas sekali dengan pemanfaatan waktu yang Garnish gunakan, sebab dia harus membuat kue sebelum berangkat ke kampus.

Untuk komposisi pun Garnish jadi ahlinya juga berkat workshop yang sempat ia ikuti, ada rahasia kecil yang membuat adonannya selalu mengembang, yaitu takaran empat sendok pengembang pada tiap dua ratus gram tepung. Tentu saja masih banyak lagi resep rahasia yang ia simpan. Hal yang biasanya tak bisa didapatkan dengan mudah dari resep di internet, segalanya Garnish rangkum di sebuah notes kecil berwarna hijau dengan gliter yang menghiasi di beberapa bagian.

Gadis itu merasakan bahwa kelopak matanya memberat, tapi jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah memaksa gadis itu untuk segera berangkat. Pesanan bentonya makin banyak kali ini, juga kue-kue langganan kantin yang semakin hari semakin cepat habis. Garnish senang mendapatkan fakta itu, ia bahkan telah memastikan bahwa celengannya selalu terisi dengan lembaran rupiah berwarna merah tiap akhir pekan. Dompet pemberian Gavin bahkan juga tampak lebih menggemaskan karena tampak gendut, penuh lembaran uang.

Setelah menyerahkan kuenya di kantin seperti biasa dan mengantar pesanan bekal itu satu persatu, Garnish ambruk di lantai kelasnya, tepat di bagian belakang ruangan itu. Kakinya diselonjorkan begitu saja, tak peduli meski Vivian belum selesai menyapu area yang kini ia kuasai. Gadis itu merasa tak punya tenaga lagi untuk bangkit dan duduk manis di kursi.

"Eh, sini gue bersihin dulu," kata Vivian yang tampak panik mengambil sapu.

"Enggak apa, Vi."

Vivian beralih meraih tumblr di mejanya dan menyodorkan pada Garnish. "Minum dulu, muka lo mau pucat tuh. Lo sakit?"

"Eh? Enggak, kok, lupa pakai liptint aja," elak Garnish beralasan sembari meminum air itu.

Lagi-lagi gadis itu berperan sebagai teman yang baik, ia meraih tote bag dan mengeluarkan pouch. Setelah melihat Garnish yang seolah kehilangan separuh nyawanya, Vivian memilih memasangkan sendiri riasan di wajah gadis itu. Garnish pun seolah tak punya tenaga untuk menolak, ia biarkan saja Vivian menyapukan kapas basah di wajahnya. Sedangkan dia sendiri memejamkan mata, memanfaatkan beberapa menit waktu yang tersisa untuk beristirahat.

"Lo kalo enggak enak badan mending ke klinik dulu istrihat." Nada khawatir terdengar jelas dari suara Vivian

"Enggak, ah, sayang absennya."

Meski tiap dosen memberikan jatah tiga kali tidak hadir dalam tiap mata kuliah, Garnish tak mau melewatkan pertemuan begitu saja. Apalagi ia adalah mahasiswi beasiswa yang kelanjutan studinya bergantung sepenuhnya pada nilai, kehadiran jelas jadi faktor yang cukup penting untuk mendongkrak IPK tiap semester. Sebab setelah beberapa waktu yang telah gadis itu lalui, ia jadi sadar bahwa selain tugas, hal lain yang bisa menarik perhatian dosen adalah absen.

"Lo udah sarapan enggak, Nish?" tanya Vivian lagi, kali ini ia memasukkan kembali alat-alat make up-nya setelah mengakhiri kegiatan dengan menambahkan liptint di bibir Garnish, membuat wajah gadis itu jadi lebih mendingan.

Garnish menggeleng pelan, ia sendiri juga baru sadar lupa memakan kue yang tadi ia masukkan di tas. Sekarang, ia tak berselera lagi memasukkan kue itu ke dalam mulut. Wajah Garnish terasa hangat, panas menjalar begitu saja. Ia merasa seperti sedang demam sekarang.

"Lo mau makan apa? Biar gue beliin nih ke kantin."

"Jangan, bentar lagi masuk."

Garnish membuka matanya, dan benar saja di depan sana kursi-kursi telah penuh oleh mahasiswa. Hanya tinggal satu menit sebelum dosen Pengembanan Profesi Guru yang selalu tepat waktu itu memasuki kelas. Tanpa sungkan Garnish memegang bahu Vivian, menjadikannya tumpuan agar bisa bangkit. Vivian sendiri memegangi tangan Garnish, menuntunnya duduk di kursi terdekat. Ini kali kedua Garnish duduk di bagian belakang. Gadis itu menumpukkan tangannya di atas meja, lantas menjatuhkan kepalanya di sana.

Meski samar, ia tetap bisa mendengar suara Vivian yang meminta pemuda di sebelahnya untuk bertukar tempat, agar lebih dekat dengan Garnish.

"Pengumuman," kata seorang gadis dengan kuncir kuda yang Garnish kenali sebagai Shinta, ketua kelasnya yang sedang berdiri di depan papan tulis. "Hari ini Bu Dinda enggak bisa masuk karena ada urusan tentang akreditasi di fakultas, jadi kita cuma disuruh kumpul tugas kelompok aja buat hari ini," lanjutnya yang membuat para penghuni kelas bersorak.

Garnish yang mendengar hal itu turut menghela napas lega. Ia membiarkan dirinya terhanyut dalam kantuk. Namun, matanya kembali terbuka saat menyadari bahwa ia tak tahu tugas kelompok yang mana yang dimaksudkan si ketua kelas.

"Vi, kita ada tugas kelompok apa PPG?"

"Bikin video presentasi buat simulasi pembelajaran jarak jauh."

"Oh ya? Lo kelompok berapa? Kita sekelompok enggak?"

"Gue tujuh, lo kalo enggak salah satu deh Nish, seminggu lalu dibagi di grup kelas, lo enggak lihat?"

Garnish perlahan bangkit, meraih tote bag yang tergantung di kursi dan mulai mencek ponselnya. Ada ribuan pesan yang belum terbaca. Seminggu ini Garnish sangat sibuk dengan urusan bisnis bekalnya sehingga jarang membuka chat masuk. Ia mencari namanya di daftar dan menemukan tiga orang lainnya di kelompok itu, Tino, Andre, juga Shinta.

"Shin, gue sekelompok sama lo, ya?" tanya Garnish saat gadis itu kembali duduk di kursinya yang berada tiga baris dari Garnish. "Maaf, gue enggak tahu kalo ada tugas kelompok."

Shinta tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya. "Gue udah coba hubungin lo berkali-kali, loh, sampe Tino sama Andre juga gue suruh spam chat."

Garnish kembali menatap ponselnya, dan benar saja nama tiga orang itu ada di daftar chat yang belum ia baca, ada puluhan pesan dari Shinta, tiga daru Tino, dan belasan dari Andre. Garnish menggigit bibir bawahnya pelan, perasaan bersalah menyerangnya seketika. Jika semester sebelumnya teman-temannya yang selalu membebani Garnish dengan tugas kelompok karena mereka tahu gadis itu tak akan menyia-nyiakan nilai tugas, kali ini Garnish malah malah merasa menanggung beban yang lebih berat karena tak ikut mengerjakan tugas kelompok.

Meski takut tak dapat nilai, dia tentu masih punya malu untuk meminta pada Shinta agar namanya tetap dicantumkan. Jadi, gadis itu hanya diam, menunduk dalam-dalam. Kali ini ia hanya bisa pasrah dengan keadaan.

[To Be Continue]

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang