11.

126 24 34
                                    

Ketika keluar dari pagar rumahnya, seorang tukang pos menyambut Garnish dengan senyum lebar. "Dengan Garnish Tatiana Rosa?" tanyanya memastikan.

"Eh, iya, Pak."

"Ini ada paket."

Usai mengucapkan terima kasih, kotak berukuran sedang yang dilapisi kertas berwarna cokelat itu berpindah tangan pada Garnish. Gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju kampus, melangkah santai menikmati angin pagi. Senandung kecil lolos dari mulutnya, ia tak bisa menahan kegembiraan yang muncul di hatinya melihat hadiah yang sudah pasti dari Gavin.

Karena tak sabar lagi, Garnish memilih membuka kotak itu sekarang juga. Jari jemarinya bergerak solid menyobek helaian kertas yang menempel di sana, tak lupa pula memasukkan sampahnya ke dalam tas agar tak mengotori jalanan. Jantungnya makin berdebar saat kotak hampir terbuka. Perasaan seperti ini telah lama tak lagi ia temui, terakhir adalah saat usianya 17 tahun ketika teman-temannya memberikan kejutan pada Garnish di sekolah. Selepas itu, tahun-tahun berlalu biasa saja, tanpa ada ucapan atau perayaan.

Saat itu Garnish merasa bahwa semakin dewasa, ia tak perlu lagi hal-hal kekanak-kanakan macam begini. Tapi saat melakukannya lagi hari ini, Garnish membuktikan satu hal, bahwa kebahagiaan dapat hadir ketika kita merasa istimewa. Mungkin nanti Garnish akan lebih menghargai diri sendiri, jika pun tak ada yang memberinya kado, Garnish bisa membelinya sendiri.

"Wah, apa ini? Keren!" seru gadis itu, tak bisa menahan reaksinya.

Untungnya jalanan yang ia lalui tak ramai sehingga Garnish tidak jadi pusat perhatian karena sekarang sedang melompat-lompat kegirangan. Tangannya dengan cepat memasukan sisa robekan dan kotak itu ke dalam tas. Lalu mengamati benda yang ia dapatkan dengan seksama. Sebuah dompet rajutan berbentuk roti, lengkap dengan hiasan mata dan mulut yang sedang tersenyum. Ia tak tahu bahwa Gavin punya selera yang lucu dan imut begitu. Gadis itu tak sabar untuk segera menemuinya dan mengucap terima kasih.

Saat melihat gerbang kampus di depan mata, ia berlarian kecil. Menuju tempat biasa di mana Gavin sering terlihat di pagi hari, parkiran kampus. Sebenarnya Garnish sendiri heran, Gavin selalu berada di tempat itu padahal dia sendiri juga berangkat dengan berjalan kaki seperti Garnish, mengingat jarak rumah gadis itu dan indekos Gavin lumayan dekat dengan kampus. Mereka seharusnya tak perlu kendaraan lagi. Tapi mungkin karena teman-teman satu kelas pemuda itu banyak yang merupakan pemilik motor besar yang hampir menguasai area parkir, dia jadi sering terlihat di sana.

Seperti dugaan Garnish, Gavin benar-benar sudah datang. Terlihat akrab berbincang-bincang dengan para pemuda lainnya. Sekali lihat, Garnish bisa menangkap keberadaan sosok pemuda yang waktu itu diperkenalkan Gavin sebagai Ali, orang yang mereka temui di bazar. Selain dia, Garnish tak tahu lagi siapa nama-nama pemuda di sana. Meski niat awalnya adalah buru-buru menyampaikan kesan mengenai hadiah ini pada Gavin, Garnish masih bisa berpikir jernih. Ia tak mungkin tiba-tiba muncul di gerombolan itu. Bisa-bisa heboh jagat kampus.

Alih-alih pergi ke kelasnya, Garnish memilih duduk bangku taman, memerhatikan mereka dan obrolan ringannya yang terbawa angin, sayup-sayup terdengar juga di telinga Garnish.

"Vin, foto bareng yuk, biar gue kelihatan ganteng," kata salah satu di antara mereka. "Tapi nanti yang liat ilfeel gak ya?"

Yang lain ikut menambahkan, "Makanya, Vin, muka lo dirawat, jangan sampe teman-teman lo pada ilfeel."

"Bener tuh, kita jadi gak bisa bikin grup cogan, nih," sahut Ali diiringi tawa.

"Wah, parah, enggak cuma cewek, cowok juga bisa nyinyir gitu," ucap Garnish bermonolog.

Ia dapat melihat Gavin tersenyum miring. Meski tak mengelak dan berusaha terlihat baik-baik saja dengan kata-kata yang dilontarkan teman-temannya, Garnish tahu ada yang bergejolak di hati pemuda itu. Dia sendiri sebenarnya sudah sering mendapatkan hinaan yang berkamuflase sebagai candaan. Bagi para kaum cantik, tampan, dan pas-pasan, mencari kambing hitam bisa jadi sesuatu yang menarik untuk diobrolkan. Mereka mungkin segan memuji diri sendiri karena takut dibilang sombong, tapi dengan melontarkan guyonan tentang kekurangan fisik orang lain, mereka bersembunyi dengan topeng agar dirinya berada di anak tangga yang setidaknya lebih tinggi satu tingkat.

Garnish tahu, tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Kulitnya hitam kusam, rambutnya keriting kusut, dan wajahnya tampak kelam meski tersenyum. Tak perlu berada di samping gadis secantik Vivian, di samping Jina yang punya wajah biasa saja, Garnish persis bayangan, hanya hitam dan datar.

"Garnish!" seru Vivian yang sudah berteriak semenjak memasuki gerbang, mengalihkan pandangan gadis itu dari Gavin. "Nungguin gue, ya?"

Garnish tersenyum lebar menyambutnya. "Eh, iya, nih. Ayo bareng ke kelas."

Vivian menggumam dengan mata mengerling. "Bohong, nih. Bukan nunggu gue, lo lagi liatin seseorang, kan?"

"Ih, enggak, apaan sih, Vi."

"Perasaan, lo sama dia ...." Vivian menunjuk ke arah Gavin, "selalu ada di lingkungan yang sama."

Garnish memutar bola matanya. "Ya iyalah, dia kan juga mahasiswa sini."

"Tapi kan mahasiswa sini ribuan. Masa yang terperangkap dalam zona rawan lo sama si dia," balas Vivian seraya menyibakkan rambutnya ke belakang, merasa perkataannya tepat. "Eh, ngomong-ngomong namanya siapa?"

"Gavin."

Vivian memegang pundak Garnish, membuat gadis itu kembali duduk, begitu pula dengan dirinya.

"Gue kayak pernah lihat dia gitu, deh, di mana ya?"

Mendengar hal itu, Garnish tiba-tiba teringat pada sinteron kesukaannya. "Di TV kali, dia mirip sama pemain sinetron, tuh."

"Oh ya? Tapi gue enggak nonton TV. Kayak pernah lihat di ... Oh! Di seminar internasional bulan lalu."

"Oh, pantes."

"Tapi mirip aja, sih, bukan dia kayaknya."

"Kenapa bukan?"

"Gue sempat lihat namanya, bukan Gavin deh rasanya, terus keterangannya juga bukan dari kampus kita, dari kampus luar negeri gitu."

"Berarti mukanya pasaran, tuh."

"Ih, tapi yang itu lebih ganteng, Nish."

"Widih, tumben nih tuan putri memuji cowok. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ya?"

"Ih, kuno." Vivian tergelak. "Habisnya cowok itu keren sih, dia jadi translator gitu. Ah, jadi penasaran, mau coba stalking, deh."

Vivian beralih merogoh ponsel di dalam tasnya. Saat itu ponsel Garnish juga berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Gavin.

Gavin: Hadiah lo udah sampe tadi pagi. Thanks, ya.
Gavin: Punya gue sampe enggak?

Garnish: Iya, baru juga sampe

Gavin: Gimana, kece, kan?

Garnish: Yah, lumayan. Makasih loh, seru juga tukeran hadiah gini

Gavin: Jangan lupa dimakan serealnya.

Garnish mengerjap, ia tak sadar bahwa ada sereal di kotak paket tadi. Gadis itu kembali menelisik kotak hadiahnya, dan benar saja, kali ini ia melihat kotak yang ditempel dengan selotip di bagian paling ujung kotak itu. Garnish terkekeh pelan, ia tak tahu kenapa pemuda itu memberinya makanan. Sangat-sangat tidak nyambung dengan hadiah satunya.

"Apa, tuh? Mau dong," kata Vivian yang tiba-tiba saja mengalihkan fokusnya dari ponsel.

Garnish segera memasukkan lagi kotak sereal itu ke dalam tas, mengamankannya dari ancaman Vivian. "Eh, jangan."

"Kenapa?"

"Biasanya lo gak mau kalo dikasih cowok-cowok."

"Itu kan cowok, ini kan punya sahabatku yang paling ... eh? Tunggu! Apa jangan-jangan itu dari cowok?" Vivian membuka mulutnya lebar-lebar, tak menyangka. "Cie! Garnish udah besar."

"Vivian! Udah ah, ayo ke kelas."

Saat hendak beranjak, gadis itu tanpa sengaja melihat Gavin yang mulai berdiri juga. Meski posisi pemuda itu membelakanginya, Garnish tetap bisa melihat di leher pemuda itu tergantung tali case ponsel dengan gambar lukisan Starry Night dari Van Gogh. Garnish harap Gavin suka dengan hadiahnya.

[To Be Continue]

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang