8. Sepuluh Kotak Bento

165 20 27
                                    

Lagi-lagi Garnish melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas pintu dapur, waktunya hanya tinggal beberapa menit lagi. Padahal ia sudah bangun sejak subuh dan bahkan dibantu sang ibu untuk membuat kue serta pesanan bento. Meski ibunya yang kerap hanya membuat adonan di oven itu jadi gosong hanya Garnish amanahi untuk memasukkan bahan-bahan yang sudah jadi ke dalam wadah. Ayahnya sendiri sudah pergi ke tempat kerja. Setelah kehilangan perusahaannya, ayah Garnish tak menyerah begitu saja, ia mencoba bangkit dengan kembali menjadi karyawan swasta meski di perusahaan kecil. Uangnya ludes, tapi semangat dan dedikasinya tak turut habis. Meski gajinya yang sekarang hanya cukup untuk bayar kontrakan dan makam seadanya.

Kotak-kotak bekal tersusun rapi di meja, promosi yang dilakukan Vivian kemarin membuahkan hasil spektakuler. Tak tanggung-tanggung, sepuluh kotak bento harus ia buat hari ini. Garnish kelabakan sendiri, harus meminjam kotak-kotak bekal milik anak-anak di sekitar rumahnya.

"Nanti kamu coba beli kotak nasi sekali pakai gitu loh, Nish. Apa sih namanya? Sterofom?"

"Tapi itu enggak sehat, Bu."

"Ya terus, masa kita harus beli kotak bekal gini juga?"

"Enggak juga, sih, nanti adalah aku cari kotak mika gitu deh."

Jika Garnish tak bersikeras untuk menambahkan kue spesial yang menggambarkan kepribadian si pemesan, sebenarnya dia bisa menyelesaikannya dengan cepat. Tapi Garnish ingin pesanan bekal yang dibuatnya itu menimbulkan kesan. Ia bahkan menambahkan kartu ucapan yang menjelaskan tentang kue-kue yang ia beri nama magic cake itu.

Tangan Garnish begitu cekatan, menyusun dan menghiasnya. Rainbow cake untuk Vivian yang setia kawan dan selalu memberi warna di hari-harinya, kemudian ia juga memilih black forest untuk Clara, teman satu fakultas yanh Garnish kenal sebagai pribadi yang disukai banyak orang.

Juga yang sedikit berbeda, milik Dwingga dan Putra yang masing-masing memesan untuk dihadiahkan pada Vivian karena mereka pikir gadis itu menyukainya. Garnish membubuhkan kue macaron dan kue cokelat untuk masing-masingnya. Sebab bagi gadis itu, macaron bisa mewakili perasaan tersembunyi dari seseorang, tak perlu terlihat besar tapi tetap menjadi sesuatu yang menawan. Juga kue cokelat yang jadi kegemaran tiap orang, bisa menggambarkan perasaan yang menggebu untuk segera disampaikan.

Ketika kotak bekal terakhir dimasukkan dalam tote bag, Garnish siap berangkat. Ia berjalan dengan hati yang riang, kepalanya sudah menghitung berapa untung yang akan ia dapatkan setelah ini. Tabungannya yang sudah lama dihuni sarang laba-laba mungkin akan segera berfungsi kembali. Garnish meraih ponselnya, mengabari para pemesan untuk segera mengambil bekal pesanannya masing-masing.

"Kayaknya ini ketering bekal harus dikasih nama, deh," gumam Garnish saat ia kebingungan ingin menjelaskan pesanan mereka dengan sebutan apa.

"Eh, Nish!" panggil seorang gadis dengan hijab yang menutupi hingga ke pinggangnya.

"Clara," sahut Garnish riang. Ia segera mengambil salah satu kotak bekal dan menyodorkannya pada gadis itu. "Ini pesanan lo."

Clara meraihnya cepat, sedang tangan kanannya menyodorkan beberapa lembar uang. "Kelihatannya aja udah enak."

"Semoga suka, deh."

"Nanti kalo cocok sama lidahnya anak-anak, bisa gue pesen lagi, kan? Soalnya UKM kajian dakwah kampus mau bikin acara syukuran."

"Eh, bisa-bisa, tapi ... untuk orderan pertama ini kotaknya nanti balikin lagi ya."

"Oh, siap."

Garnish antusias mendengar hal itu.
Tak lama, beberapa orang kembali datang. Hingga tinggal empat kotak bento di dalam sana, milik Vivian, juga dua penggemarnya. Artinya, Garnish hanya tinggal menunggu pemesan terakhir. Ia kembali mengambil ponsel, menghubungi Tirta.

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang