1. Pada Suatu Hari

498 81 129
                                    

Buku dongeng berwarna hijau yang menyajikan gambar seorang putri bersama seekor katak itu ditutup, berganti menampilkan sosok gadis dengan kulit sawo matang, bermata besar dan rambut hitam bergelombang yang digelung ke atas.

Ia mencibir dalam hati, kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Gadis itu tak suka membaca buku, dongeng sekali pun. Hidupnya yang monoton dan cenderung menyedihkan, membuatnya tak percaya pada kebahagiaan yang dijanjikan tiap cerita-cerita pengantar tidur.

Tapi ia harus melakukan itu untuk tugas kuliahnya. Setelah memilih secara acak, gadis itu menemukan dongeng Putri Tiana dan Pangeran Kodok. Mendadak, Ia merasa mirip dengan sang putri. Membaca dongeng itu membangkitkan lagi impian masa kecilnya, sekaligus membuatnya mengasihani diri sendiri karena tak bisa membuat mimpi itu jadi nyata.

"Wah, kena angin apa, nih? seorang Garnish Tatiana Rosa jadi kutu buku."

Gadis itu menengok ke arah sumber suara, di hadapannya ada sosok putri yang sebenarnya. Berambut lurus, panjang sepinggang, mata cemerlang, dan senyum lembut yang membuat wajahnya tambah gemilang. Gadis bernama Viviana Sherli yang sekarang duduk di samping Garnish itu adalah sahabatnya sejak ospek. Sebagai satu-satunya orang dengan jurusan sama yang saat itu berada dalam satu kelompok, Vivian dan Garnish jadi sahabat dekat sampai sekarang menginjak semester lima.

Meski kerap hanya menjadi bayang-bayang Vivian, Garnish tak merasa keberatan. Sebab ia juga tak suka jadi pusat perhatian.

"Kenapa, kok lemes amat?" tanya Vivian lagi saat tak kunjung mendapat jawaban.

Garnish menghela napas, mengangkat kepalanya dan kembali duduk dengan baik. "Cuma mau ngerjain tugas, buat metode story telling."

"Seru, tuh! Gue dapat snowball throwing."

"Enak, kan? Gampang."

"Tapi udah biasa gue praktekin semester kemaren."

"Artinya sudah dikuasai."

"Ih, enggak menantang, Nish."
Vivian beralih menggapai buku dongeng itu dari tangan Garnish. Membaca judulnya dengan seksama.
"The Princess and The Frog?"

"Iya, asal pilih aja, sih. Belum kepikiran mau dibawain kayak gimana. Yang penting story telling."

"Ini dongengnya bagus, kok."

"Apa gue harus ketemu sama pangeran kodok dulu ya, Vi?" tanya Garnish tiba-tiba.

"Hah? Kenapa?"

"Gue merasa mirip aja sama Tiana, kami punya impian yang sama, bahkan fisik juga."

Vivian melanjutkan bacaannya. Membuka lembaran kertas bergambar yang penuh warna itu dengan cepat. Menikmati ilustrasi yang tersaji dengan cantik.

"Tapi mana ada pangeran kodok di zaman sekarang?" Vivian mengalihkan pandangannya kembali pada Garnish.

"Siapa tahu, kan?"

"Kalau memang ada, lo mau cium kodok?"

Garnish tiba-tiba bergidik ngeri membayangkan hal itu. "Ih, mending gue jomblo menahun, deh."

Vivian terbahak, mengundang perhatian beberapa penghuni perpustakaan. Bahkan penjaga tempat itu sempat melirik ke arah mereka berdua, bersiap memberi teguran jika tawa gadis itu tak segera berhenti. Saat menyadari hal itu, tak hanya Vivian yang merona, Garnish juga merasa malu.

"Eh, gue harus ke kantin buat ambil uang kue," pamitnya, tak mau ditatap dengan pandangan aneh lebih lama lagi.

Sejak semester pertama, ia memang menitipkan kue yang dibuat sendiri di kantin kampus. Meski tak banyak, setidaknya uang hasil kue itu bisa menutupi kebutuhan fotocopy dan print tugas Garnish.

Gadis itu beranjak lebih dulu untuk mengembalikan buku yang tadi ia pinjam ke tempat semula, saat itu ia tanpa sengaja melihat siluet seorang pemuda yang sepertinya mengawasi mereka. Rasa penasaran mengetuk-ngetuk pikirannya, menuntun kakinya melangkah mendekati rak paling ujung untuk memastikan kebenaran penglihatannya.

"Nish, buruan bareng! Gue juga mau keluar, ada urusan di fakultas."

Seruan Vivian yang setengah berbisik karena tak mau mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kalinya itu membuat langkah Garnish terhenti. Gadis itu menimbang sejenak, hingga akhirnya memilih berbalik. Berlarian kecil menyusul Vivian yang sudah lebih dulu berada di ambang pintu.

Tapi ia tetap waspada. Garnish tahu bahwa pemuda itu tentu bukan mengawasinya. Lagi pula siapa yang mau dengan Garnish yang tidak ada cantik-cantiknya. Di saat ada ratusan gadis lain yang lebih menarik berlalu-lalang di area kampus, dari pagi sampai sore. Seakan tak ada habisnya.

Sedangkan untuk Garnish, jangankan simpati, pemuda yang mengajak mengobrol saja hampir tidak ada. Ia sadar diri bahwa dirinya sangat jauh dari tipe ideal para pemuda yang ada di lingkungan ini. Tujuan pemuda itu sudah pasti Vivian. Sahabatnya itu memang terkenal paling cantik di jurusan.

Bukan sekali dua kali Garnish menjadi tukang pos dadakan, dimintai tolong memberikan berbagai hadiah dari para pemuda untuk sang primadona. Vivian yang terlahir di keluarga berada jelas tak memerlukan hal-hal seperti itu lagi. Akhirnya, hampir sembilan puluh persen hadiah-hadiah itu tetap berada dalam genggaman Garnish.

Setibanya di kantin, Vivian ikut membantu Garnish membawa salah satu wadah kue yang tersaji di meja. Meski di wadah itu masih ada tersisa lima kue, Garnish cukup senang. Setidaknya modalnya sudah kembali. Seperti biasa, Vivian mencomot dua kue dari wadah itu dan menyerahkan uangnya langsung pada Garnish.

"Aku duluan, ya," pamitnya.

Garnish mengangguk dan melambaikan tangan. Di antara semua kebaikan yang diberikan Tuhan, Garnish sangat merasa beruntung bisa bertemu dengan orang seperti Vivian yang selalu membantunya. Seperti yang jadi kebiasaan gadis itu saat menemani Garnish mengambil uang kuenya, di mana Vivian selalu membeli beberapa yang tersisa.

Garnish beralih menuju kasir, mengambil uang bagi hasil dengan ibu kantin. Mudah saja, tak ada hal yang rumit. Hari-harinya selalu berjalan dengan baik seperti itu. Dikelilingi orang-orang yang ramah membuat Garnish merasa tak perlu meminta sesuatu yang istimewa pada Tuhan, cukup ketenangan seperti ini saja.

Tak perlu waktu lama, ia sudah menginjakkan kaki di koridor. Hingga kembali mendapati punggung seorang pemuda yang berjalan lambat di belakang Vivian. Garnish mempercepat langkahnya, tepat saat sahabatnya itu hilang di kelokan, Garnish beraksi. Ia menarik tangan pemuda itu, membuatnya spontan berbalik. Mata keduanya bertatapan selama beberapa detik. Sama-sama menampilkan ekspresi terkejut.

"Monster!" Garnish berteriak saking terkejutnya. Tangan gadis itu dengan sigap mengambil sisa kue di wadah yang ia pegang dan menyumpal mulut orang di hadapannya.

Di mata Garnish, pemuda itu berwajah aneh. Ia punya banyak panu dan beberapa jerawat di wajah. Ditambah mukanya yang merah karena malu tertangkap basah tengah mengawasi Vivian. Lengkap sudah definisi menyeramkan bagi Garnish.
Gadis itu berlari secepat yang ia bisa. Tak peduli meski tempat kuenya jatuh begitu saja di lantai. Bagi Garnish, keselamatannya lebih penting kali ini. Asalkan uang hasil kuenya masih berada di saku, Garnish aman. Tapi sebelum memberi jarak yang cukup jauh, ia sempat melihat pemuda itu tersedak dan menunjuk-nunjuk ke arah Garnish dengan mata yang tajam.

[To Be Continue]

Jangan lupa vote dan komennya. Sampai ketemu di part selanjutnya.

Mohon maaf, bab-bab berikutnya sepertinya akan teracak karena wattpad-ku eror. Udah kucoba perbaiki, lewat web dan lainnya tapi tetap aja begitu. Jadi, bacanya sambil liat nomor bab-nya ya.

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang