15. Kata Vivian

72 18 22
                                    

Garnish bersendawa. Sepiring ketoprak telah habis ia santap. Beban di benaknya sedikit terangkat setelah mengetahui bahwa Shinta tetap menuliskan namanya di daftar kelompok meski tak ikut mengerjakannya. Sebagai gantinya, Garnish diberi waktu setengah jam terakhir untuk merekam videonya dan mengedit sisanya agar jadi padu.

Untungnya Tino dan Andre juga tak mempermasalahkan kalau Garnish hanya berkontribusi membuat pembukaan, sebab semua materi sudah dijelaskan oleh ketiga temannya itu. Alhasil, setelah berhasil mengirimkan videonya ke email dosen, Garnish bisa tersenyum kembali.

"Lo jangan terlalu forsir diri sendiri, deh, Nish," kata Vivian sembari memutar-mutar sedotan di gelas es jeruk yang ia pesan. "Iya, gue tahu kalo bikin kue dan bisnis ini passion lo, tapi lo juga punya kewajiban kuliah yang harus diprioritaskan."

Bibir Garnish mencebik spontan, tangannya ikut meraih teh es di meja. "Tapi gue masih bisa kok, Vi, urus ini semua. Gue cuma tinggal atur waktu dengan tepat."

"Hati lo yang bisa, Nish, tapi tubuh lo enggak sekuat itu."

"Jadi gue harus berhenti?"

"Enggak juga, kurangin aja. Jangan semua orderan lo terima, pake sistem open po yang ada batasannya aja," ujar Vivian memberi saran. "Lima atau enam gitu."

Garnish terdiam, memikirkan kata-kata Vivian yang sebenarnya ia benarkan dalam hati. Mengurus hal tentang makanan dan kue memang menyenangkan, tapi Garnish juga tak boleh menjadikan hal itu sebagai penghambat kuliahnya. Apalagi setelah melakukan jasa untuk membersihkan kamar indekos Gavin, Garnish jadi kehilangan waktu akhir pekan untuk belajar dan beristirahat.

Bisa gawat jika di kemudian hari kejadian seperti kerja kelompok itu terulang lagi, terlebih jika ternyata ia satu kelompok dengan orang yang tega. Garnish menggeleng spontan, ngeri sendiri membayangkan nilai akhir semesternya nanti yang mungkin akan dihiasi huruf C.

"Oke, Vi, makasih loh sarannya." Garnish menggenggam tangan Vivian erat, membuat gadis itu tersenyum bangga. Lantas ia berpaling, mencari keberadaan penjaga kantin dan berseru, "Bu!"

"Ngapain? Pesen lagi?" tanya Vivian saat salah satu pelayan kantin mendekati meja mereka.

Garnish mengangguk antusias."Laper banget gue." Ia kembali menatap pelayan itu dan berucap, "Es tehnya satu lagi, sama tahu tek satu."

Vivian geleng-geleng sendiri, matanya beralih melihat perut Garnish yang tampak kecil. Ia tak tahu bahwa gadis itu bisa menampung lebih banyak makanan lagi. Tapi Vivian merasa lebih lega melihat sahabatnya itu begini dari pada terlihat kacau seperti saat di kelas.

"Ngomong-ngomong, abis ini kita ngumpul tugas analisis bahan ajar, udah lo?"

"Oh kalo itu udah, karena ngerjain itu juga gue jadi begadang."

"Terus matematika?"

"Eh, ada juga?" Mata gadis itu berputar, mencoba mengingat-ingat hingga tangannya refleks memukul dahi sendiri. "Oh iya yang itu."

Garnish merosot lemas di kursinya. Ia belum punya cukup tenaga untuk kembali memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan pelajaran, apalagi matematika yang merupakan kelemahannya. Bahkan, meski tahu tek yang berlumer saus kacang itu menguarkan bau menggoda ketika tiba di meja, tak sanggup juga membuat mata Garnish berbinar senang.

"Sini buku lo, biar gue salinin." Vivian mengambil sendiri tas milik Garnish dan membaca satu persatu pembatas binder untuk mencari catatan matematika.

"Eh, jangan, keenakan gue, udah nyontek malah dicatetin."

"Udah enggak apa, tangan lo masih lemes, kan? Makan dulu tahu teknya nanti dingin."

"Ih, so sweet, terharu gue."

Senyuman Garnish terlihat lebay, bahkan Vivian dapat melihat sudut bibir gadis itu hampir mendekati telinga. Ia jadi terkekeh geli melihat ekspresi aneh itu. Garnish sendiri jadi beralih mendekatkan piringnya dan menyendok satu tahu, lantas mendekatkannya ke mulut Vivian, menyuapi.

"Enak," komentar Vivian di sela kesibukannya menulis.

Mereka makan bersama. Tak pernah ada rasa canggung di antara keduanya. Bahkan Vivian pernah bilang tentang pemikirannya bahwa jangan-jangan mereka berdua adalah saudara yang terpisah karena saking satu frekuensinya. Meski Garnish langsung membantah sambil menunjukkan cermin, menegaskan betapa tidak miripnya fisik mereka.

Tapi Garnish dan Vivian terlanjur merasa cocok, dua-duanya merasa tak pernah direpotkan meski terus-menerus saling memanfaatkan. Garnish yang harus rela menghadapi sikap para penggemar Vivian yang kadang menyebalkan, juga Vivian yang selalu siap sedia ketika Garnish dalam kondisi mendesak. Sudah seperti simbiosis mutualisme.

Vivian berhenti menulis, pandangannya lurus ke belakang Garnish, membuat gadis itu penasaran dan turut berpaling. Garnish sedikit tersentak saat melihat Gavin sebagai satu-satunya orang yang ada di sana. Ia melirik Vivian hati-hati, dan makin yakin bahwa memang Gavin yang sedang ditatap temannya itu. Pemuda itu tampak tak menyadari keberadaan Garnish karena terlihat sibuk membaca buku di tangannya.

Garnish tak bisa menampik bahwa pesona Gavin mulai terlihat seiring dengan wajahnya yang mulai menimbulkan perubahan, apalagi saat ia sedang menampilkan ekspresi serius begitu. Tak heran jika Vivian tampak terpana selama beberapa saat. Tapi Garnish ragu kalau Vivian bisa langsung tertarik secepatnya itu, mengingat selama ini ia selalu didekati oleh para pemuda yang jauh lebih tampan namun, tak pernah direspon.

Berbeda dari Garnish yang baru kali ini menjalin hubungan dekat dengan makhluk bernama laki-laki. Apalagi kedekatannya dengan Gavin terjalin setelah beberapa masalah. Meski Gavin mungkin hanya menganggapnya sebagai rekan, Garnish tak bisa menampik bahwa kadang saat sepi, Garnish sering melihat lintasan memori yang mereka buat bersama. Kadang Garnish juga bergidik geli mengingat hal itu dan langsung mengenyahkan pikiran yang ia anggap menjijikan.

"Lo kenapa?" tanya Garnish tak bisa menahan diri.

Mata Vivian beralih balas menatap Garnish. "Eh? Enggak apa-apa," balas gadis itu diiringi gelengan.

Tangannya kembali bergerak cepat menulis angka demi angka di lembaran binder. Meski berusaha ditutupi Vivian, Garnish tetap merasakan bagaimana gadis itu salah tingkah saat tertangkap basah. Mengusik pikiran Garnish dengan kecurigaan. Namun, ia tak merasa berhak untuk mengurusi hal itu lebih jauh lagi.

"Vi, gimana menurut lo kalo lo suka sama seseorang, tapi lo bukan tipenya dia?" tanya Garnish kemudian.

Tiba-tiba tawa Vivian pecah. "Ih, gara-gara lo nih jadi kecoret tulisan gue." Gadis itu kemudian sibuk mencari keberadaan tipe ex di tas Garnish. "Kenapa sih tiba-tiba?"

"Enggak jadi, deh." Kali ini Garnish yang berusaha menutupi wajahnya yang merona malu, ia seharusnya sadar bahwa menanyakan hal itu pada sahabatnya yang notabenenya tahu bagaimana sikap Garnish malah akan membuatnya terlihat lucu. "Gue lupa lo enggak bakal ngerti, lo kan tipenya semua orang."

Tak ingin sahabatnya itu merasa kesal, Vivian buru-buru menjawab, "Kalo gue suka, gue bakal berusaha, lah. Bukan berubah jadi seperti yang dia mau, tapi nunjukin sama dia kalo gue adalah orang yang pantas dia cintai, terlepas dari tipe."

Garnish terpana, tangannya terangkat dan menepuk pelan. Ia tak menyangka bisa mendengar kata-kata sebijak itu dari Vivian. Sedangkan gadis itu hanya menyengir malu.

[To Be Continue]

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang