7. Filosofi Cup Cake

196 21 25
                                    

Uap dari dalam kotak bekal itu masih menguar saat Garnish membuka tutupnya, mengintip bento yang telah dihiasnya sedemikian rupa. Nasi yang sudah diwarnai hijau dari pewarna alami daun bayam dibentuk jadi sebuah bulatan. Ditambah lembaran rumput laut berbentuk mata dan mulut, menyerupai karakter keroppi. Tak lupa pula ditambah brokoli, membuat si animasi kodok yang lucu itu seolah sedang berada di tengah hutan.

Tanpa disadari, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Kemarin sore gadis itu tiba-tiba mendapat intuisi. Mungkin efek dari debu-debu yang terpaksa harus ia hirup saat membersihkan kamar milik Gavin. Garnish pikir, panu dan jerawat yang dialami pemuda itu tak lain karena kebiasaan hidupnya yang tidak sehat.

Akhirnya hari ini ia mencoba bereksperimen, setelah tadi malam sibuk searching mengenai penyebab penyakit kulit pemuda itu beserta cara mengatasinya. Hadirlah bento itu sebagai salah satu solusi yang ia pikirkan.

Setahu Garnish, brokoli dan mentimun yang ia masukkan bisa mengatasi masalah jerawat, juga ada wortel yang tadi ia bentuk jadi bunga-bunga yang bisa mengatasi panu. Serta tomat segar sebagai pelengkap telur mata sapi yang bisa membuat kulit jadi lebih sehat.

Kalau dilihat-lihat, orang yang tinggal di indekos Bu Fani rata-rata adalah orang kaya. Apalagi jika mengingat pemuda itu yang tak segan menggelontorkan dana yang lumayan hanya untuk membersihkan kamarnya. Bisa jadi, bila Garnish berhasil menyembuhkan penyakit kodok pemuda itu, dia akan dapat hal yang lebih besar lagi. Lagi pula, memasak dan menghias bekal ini juga kegiatan yang menyenangkan bagi Garnish.

Tiba-tiba ia menguap, meski masih pagi, kantuk tetap datang akibat rasa bosan. Ia sudah menunggu hampir setengah jam di taman kampus, tapi orang yang dinanti tak kunjung menampakkan diri. Gadis itu berdecak kesal, menyesal karena tak bertukar kontak saat bertemu terakhir kali.

"Eh, kok diam di sini? Gue udah keliling nyari, loh."

"Ah, iya? Kenapa enggak telepon?"

Vivian memutar bola matanya seraya mengangkat ponsel yang layarnya menampilkan log panggilan, terhitung ada lima kali gadis itu melakukan panggilan suara pada nomor telepon yang ia beri nama Garnish. Melihat itu sang sahabat meringis pelan. Ia mengintip sekilas ponselnya berada dalam tas.

"Sorry, gue lupa kalau lagi mode diam."

"Ngapain, sih?"

"Nungguin orang. Mau ngasih ini."

Kotak bekal berwarna abu-abu itu beralih tangan dengan cepat, Vivian membukanya tanpa permisi. Lantas ekspresi wajah gadis itu jadi menampilkan kekaguman saat ia melihat apa yang tersaji di dalam sana.

"Cakep banget!"

"Siapa dulu yang bikin."

"Ih, buat siapa, sih? Gebetan ya?"

"Enggak, kok! Enak aja."

"Udahlah, Nish, ngaku aja. Rahasia terjamin."

"Bukan, Vi. Lagian dia juga udah suka sama orang lain," kata Garnish yang kemudian terdiam.

Matanya menelisik Vivian dari atas sampai bawah. Hari ini seperti biasanya, Vivian tampak manis hanya dengan riasan tipis di wajah, juga crop top hitam motif kotak-kotak dan tutu warna merah hati sampai ke mata kaki. Pantas saja jika pemuda mana pun, seperti Gavin sekali pun, jadi punya keberanian untuk setidaknya berharap bahwa gadis itu bisa mereka miliki.

"Ah, lo mah kebiasaan pesimis, mulu."

"Bukan pesimis, gue cuma sadar diri biar gak sakit hati sendiri." Garnish cukup merasa nyaman dengan kisah asmaranya yang nol besar, baginya menjaga perasaan jauh lebih bijaksana ketimbang merelakan hatinya dipatahkan.

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang