19. Penolakan

66 15 27
                                    

Botol kaca dengan tutup berwarna hitam berukuran sedang itu dipandangi Garnish dengan puas. Tampak begitu cantik di matanya sekarang.

Awalnya, Bu Asih memberinya botol bekas limus sebagai tempat menyimpan jamu itu. Untungnya Garnish menemukan dua botol kaca yang lebih layak di rumah, sehingga dia harus membagi minumannya jadi dua.

Jika mengingat perjuangannya kemarin bersama Vivian saat harus mengulek kunyit, lengkuas, dan beberapa bahan lainnya, Garnish merasa itu sebanding untuk mendapatkan kata maaf. Bu Asih bilang, jarang ada orang yang meminum jamu untuk menyembuhkan panu, sebenarnya dalam pengobatan tradisional mereka cuma perlu mengoles kunyit atau lengkuas saja di kulit. Tapi Garnish mau bereksperimen, dia pikir sesuatu yang masuk ke dalam tubuh pasti lebih manjur. Sebab jika hanya dioles, toh, Gavin telah mencoba memakai banyak sekali obat oles dan hasilnya tetap gagal.

Gadis itu memilin bibirnya, merasa kurang nyaman dengan lipbalm yang tadi pagi dioleskan Vivian. Sahabatnya itu bilang, Garnish juga harus didukung dengan penampilan yang ciamik dalam momen ini.

Meski sebenarnya tanpa Vivian tahu, Garnish juga telah memakai masker malam sebelumnya agar wajahnya lebih cerah. Ia menghela napas saat dosen keluar kelas sembari membawa lembar jawaban ujian para mahasiswa, saat menengok, Garnish mendapati Vivian di sebelahnya yang sedang mengepalkan tangan, memberi semangat. Gadis itu mengangguk dan mulai beranjak, ini adalah saat baginya untuk beraksi.

Malangnya, Garnish tak menemui sosok Gavin saat pergi ke parkiran kampus seperti biasa. Kelas pemuda itu juga tampak kosong, tak berpenghuni sehingga ia tidak punya narasumber untuk ditanyai. Ia juga sudah ke kantin, depan gerbang, fotokopian, dan tempat-tempat lain yang pernah membuatnya bertemu dengan pemuda itu, tapi tetap saja tak membuahkan hasil.

Garnish berdecak pelan, satu-satunya tempat yang belum ia datangi adalah perpustakaan kampus. Ia berharap pemuda itu bukan sedang berada di perpus kota seperti waktu itu, mengingat mereka hanya punya jatah istirahat selama beberapa menit sebelum kembali menghadapi ujian mata kuliah kedua.

Wajahnya tertoleh ke sana kemari, hingga tak melihat jika ada seseorang di depan, tepat selangkah lagi, dan Garnish menubruk tubuh orang itu dengan cukup keras.

"Ma-maaf," lirihnya sembari mengusap dahi.

Garnish terpana saat melihat wajah pemuda yang ia tabrak, Gavin yang tampak berbeda. Terlihat bersih tanpa adanya jerawat, bahkan bintik-bintik putih yang mengganggunya seperti saat pertama kali mereka bertemu. Terakhir Gavin memang telah kehilangan jerawat-jerawatnya, tapi Garnish tak tahu apa yang membuat pemuda itu bisa menghilangkan panu dengan begitu cepat. Padahal ia yakin bahwa Gavin akan sangat senang dengan pemberiannya kali ini. Tapi rupanya, pemuda itu tak memerlukannya lagi sekarang.

"Minggir," kata pemuda itu dengan suara yang agak serak dan terdengar asing.

Rasa khawatir menelusup di relung hati Garnish. "Lo sakit?" tanyanya spontan. Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. "G-gue nyari lo dari tadi." Tak ada respon. Pemuda itu menelisik Garnish dari atas ke bawah, entah karena apa. "Ini buat lo." Garnish menyodorkan satu botol jamu yang tadi ia bawa.

Senyuman tipis terbit sekilas di wajah pemuda itu. "Kebetulan gue lagi haus." Dia mengambil botol itu dan langsung meminumnya. Hingga kemudian menyemburkannya begitu saja. "Apaan nih? Jus basi? Lo mau racunin gue, ya?"

"A-apa? Bu-bukan, itu ...."

Garnish kehilangan kata saat melihat orang di depannya itu membuang botol yang tadinya digenggam erat penuh harapan. Matanya menatap tajam Garnish penuh kesal. Diiringi decakan, ia memilih melangkah pergi.

"Vin, tunggu." Garnish dengan cepat menggenggam lengannya agar tak pergi terlalu jauh.

"Apaan, sih?" Ia berhenti dan terlihat tak terima. "Udah, gue mau pergi, lo enggak usah sok akrab, deh."

"Tapi gue cuma mau minta maaf."

"Maaf lo enggak gue terima. Lidah gue mati rasa, nih."

"Gue ngomong sebentar aja, nanti gue beliin minuman lain, deh," kata Garnish masih mencoba membujuk meski hatinya sempat diserang nyeri karena perkataan pemuda itu. "Ayo ke kantin."

"Idih, ngapain gue pergi sama lo? Gue mau nemuin cewek gue, nanti kalo dia lihat gue sama lo yang ada dia cemburu."

Ia benar-benar pergi selepas mengatakan itu. Memecahkan harapan Garnish begitu saja. Padahal niat gadis itu tulus untuk membantu Gavin. Meski di awal Gavin juga tidak bersikap ramah padanya, tapi setelah semua yang mereka lalui bersama, Garnish tak menduga bahwa dirinya akan mendapatkan perlakuan seperti itu.

Terlebih fakta bahwa ternyata Gavin telah memiliki seorang kekasih. Hati Garnish rasanya remuk redam. Di saat ia baru pertama kali merasakan jatuh cinta, dan baru saja mengakui hal itu, hatinya malah dipatahkan. Setahu Garnish, cinta pertama selalu menyenangkan, bukannya ironi seperti yang ia alami sekarang.

Untuk pertama kalinya juga, Garnish mengeluarkan air mata atas nama seorang pemuda. Tungkainya melemas, ia ambruk di tanah sembari menatap botol jamu yang telah kosong karena isinya tumpah ke bumi.

***

"Disitu enak juga, lebih murah."

"Iya, gue denger juga dapat bonus gitu kan, ya? Beli dua gratis satu."

"Promo besar-besaran karena baru buka tuh."

"Mulai besok kita beli ke sana aja."

Seolah hari ini adalah hari sialnya, saat kembali ke kelas, Garnish kembali dihadapkan dengan kenyataan pahit. Teman-temannya mulai membicarakan bahwa ada orang yang menjual bento sama sepertinya. Meski mereka berbisik, Garnish tetap bisa mendengar percakapan itu dengan jelas.

Ia curiga bahwa orang yang menjual bento itu adalah orang yang sama dengan yang mencuri resepnya. Garnish mengatakan itu mencuri bukan tanpa alasan, jika orang itu tak punya niat jahat seharusnya dia mengembalikan bukunya pada Garnish karena di notes itu tertulis dengan jelas nama dan jurusannya, jadi seharusnya tak sulit baginya untuk menemukan Garnish.

Apalagi fakta bahwa sekarang dia juga mengambil lahan bisnis Garnish membuat gadis itu dibuat pusing.

"Jahat banget, sih. Itu melanggar undang-undang hak cipta tuh," omel Vivian.

"Kira-kira siapa ya, Vi?"

"Gimana kalo gue pesen satu? Jadi kita bisa tahu siapa yang jual."

Garnish terdiam, ia sebenarnya ragu, tapi juga dibuat penasaran setengah mati. "Yah, enggak ada cara lain, kita harus lakuin itu."

Vivian segera memainkan ponselnya dan memesan lewat online. "Kita labrak aja besok."

"Janganlah, tanya baik-baik aja."

"Ngomong-ngomong lo, kok, lemes amat, sih?" tanya Vivian ketika Garnish menyandarkan lehernya di bangku, membuat wajah gadis itu tertengadah menghadap langit-langit kelas. "Oh iya, si Gavin gimana? Udah baikan?"

Garnish menggeleng lemah. "Dia enggak mau maafin gue, jamunya dibuang sama dia."

"Kok, dia jahat?"

"Kan, salah gue juga awalnya."

"Tapi lo kan udah mau minta maaf, sampe bikinin ramuan segala, harusnya dia bisa maafin dong."

Garnish memaksakan tawa kecil, berusaha terlihat baik-baik saja. "Kok jadi lo yang marah-marah sih, Vi?"

"Gue enggak terima temen gue diginiin, udah deh lo move on aja." Vivian mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menyodorkannya pada Garnish, di layarnya tertera foto seorang pemuda yang tampak tersenyum ke arah kamera. "Gue kenalin sama temen gue mau gak?"

"Dia yang enggak mau sama gue," balas Garnish sambil menutup mata, pura-pura tidur.

[To Be Continue]

A/N

Wattpad-ku error kayaknya. Ini bab-nya di draftku keacak, bab 17 sama 18-nya jadi ke atas gitu🤧 Di kalian gimana? Masih normal kah?

The Magic Cake Recipe [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang