"Sampai kapan kita harus tahan dalam kebingungan
Dengar kata di sekitar kita terus mengatakan
Bahwa kita tak bisa bersama
Tak bisa bersama"...
Semua berawal pada hari Senin yang menyebalkan. Di mana jalanan terasa sesak karena saling berdesakan, asap dan pengap membumbung di batas-batas cakrawala bersama sekelumit caci makian yang keluar dari bibir orang-orang kota juga para manusia urban yang menjelma menjadi jumawa. Berebut jalan, menghimpit sana sini tanpa peduli manusia lain, yang barangkali, juga dikejar waktu lebih cepat dari mereka yang saling maki menggunakan klakson kendaraan yang memekik kuat.
Di balik kemudi Mario hanya mampu mendesahkan napasnya panjang. Mengurut dada dan memanjangkan sabar agar tak semacam manusia-manusia jumawa di luar sana. Tangannya bergerak frustrasi, berusaha melepas dasi yang sedari pagi mencekik lehernya tanpa permisi.
Lelah dan lesuh-tidak bisakah sehari saja dia terbebas dari permasalahan macet yang tak berkesudahan ini?
Tangannya terjulur ke arah dashboard. Mengambil gawai yang tergeletak malang tanpa ia lirik sedari tadi, mencari nama yang dia nanti sedari tadi.
"Halo, Rey. Udah sampai mana orang bengkelnya? Ini saya udah enggak betah panas-panasan di dalam mobil" Mario mengedarkan pandangan mata ke arah luar, meneliti barangkali ia melewatkan atensi orang yang ia panggil di sekitarnya baru saja, "Udah dua jam, Rey"
"Ah, iya. Maaf, Pak, tadi sudah coba saya hubungi, katanya juga sedang terjebak macet karena ada kecelakaan lalu lintas. Nanti biar saya coba hubungi lagi"
Mario hanya bisa membuang napas. Sekali lagi, menekan dial merah di sana untuk menyudahi semuanya. Membanting tubuh ke sandaran jok mobil dan mengatupkan matanya dengan begitu erat-sudah tak ada waktu untuk mengejar kesanggupan itu. Benar-benar tak ada waktu. Dia hanya bisa melepas orang itu lewat lambaian tangan seandainya sebuah pesawat dalam hitungan menit melaju di atas kepalanya sana.
Suara kaca mobil yang terketuk membuatnya menutar kepala dan merengutkan kening serta alis yang menekuk. Seorang anak muda, kira-kira berusia sembilan belas tahunan itu, mengetuk kaca mobilnya dengan senyum yang merekah lebar. Tidak ada niatan jahat yang Mario tangkap dari gurat kedewasaannya sama sekali. Hanya ada keteduhan, ketenangan, juga rasa sejuk entah kenapa membuat Mario merasa-tertarik, dengan anak itu.
"Permisi, Om. Maaf sebelumnya kalau boleh tahu, mobilnya kenapa, ya?"
Tutur katanya yang lembut, membuat Mario mengedutkan kedua sudut bibirnya tanpa sadar. "Mogok. Nunggu orang bengkel dari tadi enggak datang-datang. Kenapa?"
Anak lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Boleh saya lihat, Om? Kebetulan suka bantu-bantu di bengkel Ayah"
"Bisa?"
"Ya-semoga, hehe"
...
"Enggak ada yang tahu, Vi, kalau setelah itu Papa jatuh hati sama semua sikap Vino. Cara ngomongnya yang lembut dan jauh dari kata kasar, buat Papa yakin kalau Chika akan ada di tangan yang tepat setelah ini"
Vio hanya menanggapinya dengan seutas ssnyum yang terlukis sumir di sudut bibir. Menolehkan kepala setelah beberapa jenak meyakinkan dirinya bahwa tak akan ada air mata yang ia keluarkan di depan ayah kekasihnya, setelah menguatkan dadanya agar kuasa mengangguk dan menimpali semuanya.
"Semoga, ya, Pa. Vio juga berharap kalau Chika ada di dekapan orang yang tepat setelah ini"
Lampu lalu lintas di depan mereka berubah merah. Membuat kaki Vio yang dibalut pantofel itu menginjak pedal gasnya dengan perlahan, mulai menyelami kejenuhan menunggu lampu merah di persimpangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
FanfictionMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...