KANDIYA : Orion Sirrius

634 45 32
                                    

"Namun, masing-masing kamar kita tahu siapa nama yang kita tangisi dan bingkai nama yang kita peluk berulang kali. Hingga jatuh air mata ke dasar, hingga menggenang. Rindu yang kita tangisi"

-Elegi, Rindu yang Kita Tangisi-

...

Langit yang menghampar luas, jejak-jejak pesawat pada awan kapas di angkasa lepas.

Hah-—Kandiya tak ingat jika ia pernah merasa setenang ini ketika menatap hampar langit yang mengungkung jejak kakinya di dunia yang penuh sesak dan kepura-puraan ini. Tak ingat pula jika ia pernah menjadi penggemar nomor satu batas pandang manusia yang seolah tak memiliki tepi itu, seandainya pada hari ini ia tak keluar lagi—setelah ribuan rasa sakit itu berhasil ia damaikan dari dalam diri.

Kepul-kepul tipis yang diciptakan oleh kopi yang cangkirnya ia genggam di tangan kanan meliuk teratur membersamai aroma penuh ketenangan yang dibawanya. Mengalirkan ribuan kata baik-baik saja yang pada akhirnya mampu meredam kecamuk perasaan bersalah yang menghantui malam-malamnya sepanjang ia menarik napas sejak sulut kemelut malam itu-di pojok kamar laki-laki tidak tahu diri bernama Vincentius Orlanius Prasmana, yang sejak hari itu menyembunyikan kesedihannya dari semesta yang selalu mengecapnya sebagai pria paling keparat di muka bumi. Setelah ia meninggalkan Yessica Tamara beserta dua putranya yang pada saat ini tengah ia pandangi wajahnya dari kiriman gambar Azizi Pakubuan.

"Mereka tampan—kaya lo" kepala Kandiya tertoleh ke arah samping. Menatap Vino yang hanya menganggukkan kepala sambil mengulas senyumnya samar-samar. "Kapan mau menemui mereka?"

"Gue masih pantes dipanggil ayah sama mereka?"

Kandiya mengangkat bahu. "Why not? Lo bapaknya. Kalau enggak ada lo, anak-anak lo—um, Nakula sama Sadewa, mungkin juga enggak bakalan ada"

"Gue nyakitin nyokap mereka—nyakitin mereka juga. Maksud gue, setelah semua hal yang gue katakan ke Chika, setelah semua caci maki dan dugaan enggak mendasar gue ke dia, gue enggak pantas buat menunjukkan diri lagi di depan dia" ada hela napas yang Vino keluarkan hari itu. Menyodorkan kembali gawai Kandiya ke pemiliknya kemudian mengantongi kedua tangan pada saku depan celana kainnya. "Gue terlalu bajingan buat dipanggil Papa sama mereka. Mereka lebih baik enggak tahu kalau punya ayah kaya gue"

"Jangan gitu, Vin. Lo tetap ayahnya, seperti apa pun sikap lo itu"

Vino menolehkan kepala. Ada jejak-jejak keseduan yang bisa ia tangkap dari wajah Kandiya yang entah kenapa justru membuatnya merasa bersalah pada perempuan ini. Ada banyak kesedihan yang diam-diam ia sembunyikan, ada banyak isak-isak ketidakterimaan yang mati-matian Kandiya simpan. "Lo selalu kasih kalimat gitu ke gue, apa lo sendiri juga udah siap buat ketemu Vio lagi—setelah sulut kemelut itu?"

Hening. Tak ada jawaban yang bisa Kandiya beri. Hanya ada desir angin yang lembut menyentuh wajah keduanya yang nampak sayu dan pasi, sebelum akhirnya sumir senyum itu terbit di kedua sudut bibirnya yang lama kebas karena tak pernah disinggahi senyum semenjak peristiwa tersebut.

"Gue selalu siap buat ketemu Vio. Bahkan, setelah malam itu pun, kalau bisa gue bakal langsung ketemu sama dia. Cerita semuanya, tapi dia yang enggak mau gue temui, Vin—I hurt him so bad. Wajar kalau dia jadi begitu"

"Terus—mau sampai kapan?"

Sampai kapan—hah, Kandiya tak bisa menjawabnya. Sampai kapan pun.

...

From : viorasendriya@gmail.com

To : kandiyarafaa@gmail.com

End Up With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang