Bacanya pelan-pelan aja, hehe.
...
Derit pintu kamar mandi yang terbuka membuat kepala Satya yang sejak tadi tertunduk mendongak juga. Memutar bola mata mengikuti langkah penuh tatih yang adik semata wayangnya lakukan, sebelum akhirnya memakukan pandang pada tubuh itu di sebelah kanan. Sorot mata yang biasanya penuh binar itu masih saja terlihat layu. Kantung mata yang dihiasi jelaga hitam juga membuat dada Satya mencelos memandangnya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti kapan terakhir kali adiknya bisa tidur dengan nyenyak dan kapan terakhir kali perut itu diisi oleh makanan mulai melompat-lompat masuk ke dalam kepala sebelum akhirnya merembet ke pangkal lidah meminta disuarakan. Kekhawatiran-kekhawatiran Satya masih ada dan akan terus ada serta melekat di sana entah sampai kapan waktunya. Beberapa penyesalan, ketakutan, serta kemelut amarah turut serta menari-nari pada palung jiwanya yang mendadak kosong sejak mengetahui sebegitu beratnya masalah yang Chika hadapi sekarang ini.
Diselingkuhi, ditinggal begitu saja, lalu yang paling parah adalah tidak adanya pengakuan Vino pada keponakannya—hah, Satya rasanya ingin meledakkan semua amarah yang menghimpit dadanya sekarang juga. Pada siapa pun, bukan hanya Vino yang memiliki andil paling besar dalam kelumit masalah ini, melainkan juga si perempuan dan juga Vio yang tak pernah memiliki ketegasan sedari awal.
"Kak, boleh minta tolong ambilin cardigan gue di gantungan itu enggak?"
Paham Satya menjadi buyar. Tatkala kalimat lirih itu keluar dari mulut Chika yang entah sejak kapan sudah berpindah posisi ke meja rias di depan mereka. Menganggukkan kepala, menyeret tumitnya ke dekat pintu yang menggantungkan cardigan putih milih sang Adik.
"Lo beneran mau pergi?" Satya asongkan benda itu ke arah Chika, "Sendirian?"
Chika anggukan kepalanya. Menutup lip thin yang ia gunakan untuk menimpa pucat pada bibirnya lalu menerima cardigan dari Satya. "Iya"
"Enggak mau gue temenin? Hari ini gue libur. Pak Sandy enggak ngasih kasus ke gue"
Chika menenggak. Tersenyum simpul ke arah kakaknya yang menjadi satu-satunya laki-laki yang selalu ada di samping dirinya kapan pun Chika membutuhkannya. "Enggak usah, Kak. Gue bisa pergi sendiri. Mumpung lo libur, mending lo jalan aja, deh, sama Ci Jesslyn. Kasihan anak orang lo tinggal-tinggal mulu buat ngurusin gue," ujarnya, "Gue enggak semenyedihkan itu, kok, Kak. Gue baik-baik aja"
"Gue bahkan enggak pernah percaya lagi sama kata baik-baik aja yang lo omongin sejak pernikahan lo sama Vino, Chik" Satya bersimpuh. Berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan Chika. Menatap lurus adiknya yang kembali meredupkan senyum. "Lo sekarat dan itu yang berusaha lo sangkal mati-matian. Kenapa, sih, Chik, suka banget pura-pura kuat? Apa lo pikir, dengan begini lo akan terlihat keren? Enggak sama sekali. Lihat diri lo yang sekarang. Berapa malam lo enggak tidur? Berapa hari juga lo enggak makan? Lo sekarat, Chika. Itu yang terjadi sama diri lo"
Perempuan itu hanya mengulas senyum. Sekali lagi memalingkan atensi memperhatikan patutan dirinya di depan cermin. Satya benar. Kapan—terakhir kali Chika merawat dirinya sendiri?
"Chik," suara Satya terdengar melembut. Menyentuh bahu adiknya yang begitu ringkih, "Kapan mau ngomong sama Mami-Papa? Lo—enggak bisa terus-terusan pura-pura gini"
Ada helaan napas yang lolos dari hidung bangir Chika kendati pelan. Mengusap punggung tangan kakaknya yang bertengger di bahunya kemudian tersenyum lagi. "Nanti. Setelah gue rasa waktunya tepat, gue bakal cerita ke Mami sama Papi" Chika letakkan sisir yang ia genggam, beranjak berdiri. "Gue pergi dulu, ya, Kak? Lo kalau masih mau di sini juga enggak apa-apa, mau jalan sama Ci Jesslyn juga enggak apa-apa. Thanks karena udah dukung gue terus"
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
Fiksi PenggemarMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...