"Aku kira, aku telah cukup kuat untuk sekadar mengatakan baik-baik saja. Telah benar-benar mengistirahatkan kepala dari dirimu yang sudah tiada. Namun, ternyata tidak. Jendela besar di kamar kita nampak lebih berisik dari manusia. Dia terus saja berbisik, menasbihkan lafal namamu setiap kali kepulangan menjemputku"
...
Hari ini hujan turun membasahi tanah yang semakin terlihat penuh nelangsa. Rintik airnya menghujam bumi, seolah-olah ikut serta dalam acara bersulang air mata pada mabuk kesedihan yang tengah ia jalani.
Hari ini, separuh dari jiwanya telah benar-benar pergi—dan tidak akan pernah datang lagi.
Hari ini, alasannya untuk pulang telah Tuhan panggil untuk kembali. Membiarkan tanah merah itu mendekap tubuh ringkih sang Puan yang meninggalkan nesatapa, menyisakan raungan-raungan kesedihan yang dikumandangkan oleh manusia dan semesta.
Christy telah benar-benar menyatu dengan tanah.
Pada saat diperkenankan menatap wajah ayu penuh ketenangan sang Istri, Azizi berhasil meloloskan air matanya. Namun, saat ini, hujan seolah-olah mewakilkan semua kesedihan dan semua ratapan duka yang ia gaungkan pada pojok-pojok semesta. Hingga hanya nyalang mata yang kuasa ia sodorkan kepada ratusan pelayat yang pada hari ini turut serta mengantarkan kepulangan sang Puan dalam damai Tuhan yang abadi.
Beristirahat dalam damai Tuhan
Angelina Christy.
Dengan sisa tenaganya ia mengalihkan tatap. Memandangi gantungan kunci rumah yang seharusnya ia tunjukkan kemarin kepada sang Istri sebagai kado ulang tahunnya yang ke-26. Namun, tetap, semesta seolah-olah menjadi yang paling berkuasa atas segala rencana yang manusia buat di bumi yang begitu hina.
"Zee..."
Sentuhan pelan di bahunya membuat Azizi menoleh. Lekas tersadar ketika di pemakaman ini hanya menyisakan ia dan juga manusia yang sejak kemarin tak pernah pergi. Bahkan ikut serta dalam ritus sang Istri pada malam terakhir sebelum ia berpulang.
"Gue baru mau kasih kunci rumah ini ke dia—rumah baru kami. Tapi bukan semesta namanya kalau enggak bajingan" dia tertawa di akhir kalimat. Yang demi apa pun membuat hati perempuan itu mencelos dalam satu tarikan napas. "Sekarang—apa gunanya gue beli rumah kalau tempat gue buat benar-benar pulang udah enggak ada? Gue pengin pulang juga"
Lolos sudah semua air mata Azizi hari ini. Semua sesaknya seolah-olah ikut tumpah beriringan dengan derasnya hujan yang mengguyur tanah merah peristirahatan sang Istri yang amat ia benci. Merosot dan jatuh, membiarkan pakaian hitamnya semakin gelap tertimpa noda tanah yang istrinya akan benci.
"Zee, jangan gitu" dengan semua keberaniannya, perempuan itu rengkuhkan tangannya pada bahu Azizi yang hari ini benar-benar tak bertenaga. Membiarkan kepalanya jatuh di bahunya. Sama-sama menyembunyikan air mata di balik rintik hujan yang makin tak tahu diri. "Ada anak kalian yang enggak boleh sampai sendirian"
"Dia enggak butuh gue. Dia butuh Mamanya—sama kaya gue"
Ia menggelengkan kepala. Menangkup pipi Azizi yang benar-benar sembab. "Enggak ada ayah yang enggak dibutuhin anaknya. Anak lo butuh lo. Lo harus tahu itu, Zee. Kalau Christy tahu lo ngomong gini, dia bakalan sedih. Lo harus buktiin ke dia kalau keputusannya buat pulang itu enggak salah. Lo—lo enggak akan sendirian, Zee. Ada gue. Ada gue yang akan nemenin lo—sampai kapan pun"
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
FanfictionMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...