Obat patah hati yang paling mujarab adalah dengan menjatuhkan hati itu kembali.
Hah, sayang, kemujaraban jatuh hati tak berlaku bagi Vio yang patah hati.
Racun itu sudah terlalu banyak menyebar di sepanjang aliran nadinya hingga obat apa pun, rasa-rasanya, tak akan lagi sanggup mengentaskan dirinya dari kekeruhan patah hati yang Chika sebarkan di dalam dadanya.
Dia sudah terlalu jauh tersesat dalam belantara rasa bersama Chika, kemudian kehilangan peta hingga lupa arah pulang yang semula dia duga adalah wanitanya. Dia terlalu berpongah diri pada masanya hingga membuang jauh peta itu entah ke mana, seolah-olah bersama Chika lah perjalanan cintanya akan bermuara. Dia pernah terlalu percaya diri bahwa semesta tak akan pernah mengecewakan doa-doa yang seorang manusia langitkan di tengah temaram cahaya kamar pada gelaran panjang sajadahnya, hingga akhirnya disadarkan jika di antara dia dan Chika tetap ada sesuatu hal yang tak akan pernah sanggup dipersatukan-sekuat apa pun keduanya saling jatuh cinta dan saling menginginkan hingga tua.
Kepercayaan-kepercayaan diri, kepongahan, serta ketersesatan langkahnya pada belantara cinta yang dia lupa ke mana arah kembalinya, membuat Vio hanya mampu berdiam diri di pojokan dunia yang penuh hingar bingar jatuh cinta. Menyisakan dirinya dalam belenggu patah hati yang begitu parah dan menyedihkan, meninggalkan dirinya pada kungkungan elegi renjana yang dipenuhi dengan utas kata menelangsa.
Hah, dia hanya mampu menghela napas. Ketika malam-malamnya lagi-lagi hanya dia lalui dengan melamun di sudut beranda sambil mendengarkan lagu-lagu melankolis yang membuatnya terlihat begitu payah setiap harinya. Orang-orang pernah patah hati, tapi sepertinya tak ada yang seberlebihan Vio dalam menyikapi.
"Hah, gila" dia urai lipatan tangan yang semula menjadi sandaran kepalanya di atas meja, menggelengkan kepala kuat-kuat. "Gila. Bisa bener-bener gila lo, Vi, kalau gini terus. Apa, sih, istimewanya Chika sampai lo segitunya? Padahal, biasa aj-heh, mana ada Chika biasa aja, sih, Vi? Ngaco mulut lo emang"
Begitulah rutinitasnya. Melamun, bermonolog, kemudian menuju dapur untuk mencari sesuatu hal yang bisa mengalihkan pikirannya dari Yessica Tamara-entah makanan atau secangkir cokelat hangat yang menenangkan-atau justru kembali memasukan diri ke dalam selimut, kemudian mencoba terpejam agar bayang-bayang perempuan itu tak lagi hadir di dalam kepalanya.
Apa pun-apa pun Vio lakukan, agar bisa melupakan Chika secepatnya.
Saklar dapur ia nyalakan. Netra tajamnya tiba-tiba menyirit saat mendapati sebuah punggung tengah berdiri di balik pemanggang roti yang beberapa bulan lalu Vio beli, bertepatan dengan ingkahnya Chika dari tempat ini. Tak ada lagi yang memasak untuknya, tak ada yang bisa ia andalkan untuk mengurus keperluan makannya yang juga harus diperhatikan, membuat Vio, pada akhirnya, membeli alat itu untuk mempermudah urusan perutnya yang kadangkala tak tahu diri.
"Ngapain?"
"Kelihatannya?"
Vio mendengkus. Menarik kursi untuk duduk di balik meja makan kemudian melipat tangannya di sana. "Buatin gue sekalian, dong, Ndy. Itung-itung simulasi jadi istri gue"
"Najong"
Kandiya berbalik. Meletakkan piring berisi dua tangkup roti dengan taburan cokelat serta kacang di atasnya, kemudian menyesap segelas susu putih yang entah sejak kapan sudah berada di depan Vio.
"Udah numpang, enggak tahu diri lagi" Vio memicing, "Ndy, buatin, lah. Gue mager mau ke sana"
"Ah, dasar!"
Kandiya akhirnya berdiri juga. Menuju ke arah pantry dan membuatkan Vio roti serta susu cokelat hangat kesukaan pria itu. Sedangkan Vio memilih diam, memainkan jemarinya pada gawai dalam genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With You [COMPLETED]
FanfictionMemperkenalkan, Vio Rasendriya dan Yessica Tamara; Vio suka menyusup ke dalam gereja. Duduk di barisan paling belakang, mengangkat tangan hingga telinga sebelum akhirnya bersidekap di depan dada. Memejamkan mata, merapalkan doa-doa dan berpasrah kep...