Sebelas : Hari-Hari Patah Hati

453 79 117
                                    

HARI pertama setelah patah hati, tak ada yang benar-benar bisa dia nikmati. Semuanya terasa pahit, semuanya semakin terlihat perih. Terlebih dengan siluet bayangan Vio yang masih saja sering keluar masuk kamar ke beranda mereka yang berhadapan dan mau tak mau memaksa mata mereka kembali bersibobrok untuk kesekian kalinya, lagi dan lagi.

Hari pertama setelah patah hati, pada akhirnya membuat Chika sadar apa yang orang-orang pahami. Kita tak boleh menitip hati, sebab Tuhan hanya memberi satu, jadi jangan dititip apalagi beri karena satu-satunya cara agar racun itu tak membuat kita mati adalah dengan merawat hati.

Sayangnya, Chika terlambat untuk menyadari.

Pada tahun kedua belas mereka saling mengenal, Chika dengan begitu percaya dirinya memberikan hati kepada Vio seolah-olah dia akan berkata siap membagi hati bersama hingga Tuhan berkata agar keduanya kembali. Tapi, ternyata tidak. Vio lebih senang melukai ketimbang merawat hati.

Pagi pertama setelah patah hati, dia terkejut mengapa masih sanggup berdiri sedangkan kemarin malam dia sangka ia sudah mati. Beberapa kali meyakinkan diri, menengok ke sekitar dengan dada yang masih terasa begitu nyeri, dia akhirnya sadar juga bila dunia berputar bukan hanya tentang Chika dan semua kisahnya yang begitu pahit dan terlihat tidak adil.

Ada orang lain di sekitarnya, yang barangkali sedang berbahagia atas pencapaian terkecil mereka selama ini. Ada Satya yang tak berhenti tersenyum setelah berhasil mengutarakan niatnya kepada sang Mami, ada Mario yang dia rasa lupa cara meredupkan rekahan di pinggir bibir saat tahu putrinya resmi dipinang seorang lelaki, ada juga tetangga sebelah rumahnya—pasangan aneh namun menyenangkan, Boby dan Anin—yang berbangga atas keberhasilan Yori menduduki peringat pertama di semester ini.

Ah, harusnya Chika sadar jika dunia itu adil. Semesta tetap berjalan sebagaimana mestinya, memberikan waktu kepada orang-orang ini untuk membenahi hati masing-masing. Lantas, mengapa dia masih bisa menganggap jika dunia itu penuh dengki?

"Nak, udah bangun?"

Chika menggumam panjang. Menurunkan kakinya hingga menyentuh karpet berbulu yang menyelaputi lantai, mengucek kelopak matanya sambil mengumpulkan kesadaran yang belum penuh. "Udah, Mi. Masuk aja enggak apa-apa"

Bunyi decit pintu yang bergesekan dengan lantai membuat kepala Chika terlempar ke arah sana. Merekahkan senyum, menyambut kehadiran Gracia dengan rekahan pada simpul bibirnya yang ranum.

"Pagi, Mi"

"Pagi juga, Dek" ditariknya pelan kepala Chika agar mendekat, mencium puncak kepala anak gadis satu-satunya itu dengan lembut, "Gimana tidurnya semalam? Enak?"

"Biasa aja, sih, Mi, enggak ada yang aneh" dia tersenyum lagi, "Ada apa?"

"Ah, enggak. Mami kira belum bangun" Gracia usap rambut putrinya yang terjuntai panjang, "Jadi pergi sama Mas Vino?"

Dia menganggukan kepala. "Jadi. Mau ke gereja ngurus administrasi sama cari cincin gitu katanya"

Gracia menganggukkan kepala lagi. "Ya udah, siap-siap, gih. Kasihan nanti kalau Mas Vino datang harus nunggu kamu lama"

"Iya, Mi"

Baru dua langkah beranjak, suara Gracia sudah terdengar lagi. Membuat Chika menjeda langkahnya yang menyentuh kenop pintu kamarnya.

"Dek?"

Chika menoleh. "Iya, Mi?"

"Adek jadi ambil cuti semester?"

Perempuan itu menganggukan kepala samar. Mengulas senyum sumirnya kepada sang Mama yang masih betah duduk di tepian ranjang. "Ya—mau enggak mau 'kan, Mi? Mau menikah itu 'kan ribet. Jadi yaudahlah. Udah sepakat ini"

End Up With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang