Dua Puluh Lima : Ruam Genggam

491 67 141
                                    

Desau angin berhembus mesra mencumbu reranting hingga saling berdesik membelai satu sama lain. Lembut sentuhannya merayu-rayu, mematahkan tangkai daun dari rantingnya yang diranggas waktu. Perlahan tergerak dan melayang bebas di udara selama beberapa waktu, kemudian jatuh mengaitkan diri dengan tanah-tanah berbalut rerumput yang tak lagi hijau seperti waktu itu. Sayup-sayup, suara anak-anak bersahutan susul menyusul di gendang telinga, berlomba-lomba memenuhi isi tempurung kepala, lalu kemudian hilang didesak bisik-bisik lembut dari lawan bicara masing-masing yang semenjak tadi sibuk saling menatap langit. Tawa kecil itu sahut menyahut pada diri masing-masing. Menimbulkan pergerakan-pergerakan kecil pada diri mereka, lalu berakhir dengan pukulan pelan yang tangan gadis itu layangkan pada dada bidang kekasihnya—selalu begitu, bahkan ketika langit nyaris disandera gelap sebentar lagi.

"Kenapa pukul-pukul terus?" Azizi akhirnya beranjak duduk. Bersila di hadapan Christy yang baru saja memukul dadanya cukup keras, "Mau jadi petinju, ya, kamu?"

"Garing!"

"Loh, aku juga enggak ngelawak, ya, Njel. Kenapa hobi banget mukul-mukul, sih, sekarang, huh? Enggak manis lagi kaya Christynya Kak Azizi waktu zaman SMP" Azizi sentuh hidung Christy dengan jari telunjuknya sambil tertawa pelan, "Atau jangan-jangan emang sengaja gini biar makin gemesin, ya? Aduh, Angel, kamu, tuh, enggak harus gini juga udah gemesin tahu, Njel"

"Kak Azizi!" Christy tepuk tangan yang menarik-narik pipinya dengan kuat, "Kok, sekarang jadi norak banget, sih? Emang udah bener kamu jadi manusia tujuh belas tahun yang bandel aja daripada jadi cowok bener-bener malah alay gini"

"Ya maaf, deh, kalau norak" Azizi rengkuhkan lengan kokohnya di bahu Christy yang mungil. Membiarkan mereka saling bersandar satu sama lain, menatap langkah-langkah kecil dari balita yang sejak tadi berlarian di depan orang tua mereka. "Pernah kepikiran menikah muda enggak?"

Christy menggeleng. "Enggak dan enggak mau juga menikah muda," ujarnya, "Kenapa nanya gitu? Ada rencana menikah muda? Sama Brielle sana. Jangan sama aku"

"Tuh, yang mulai bahas-bahas Brielle kamu, lho, ya. Kenapa, sih, sensi banget sama dia? Brielle itu baik tahu, Christ"

Christy mengangguk. "Iya, aku tahu. Sangat tahu. Tapi, dia itu suka sama kamu. Berarti, dia musuh aku"

"Angel, berapa kali aku harus ngomong kalau dia mau suka sama aku pun, kalau aku suka sama kamu, dia bisa apa?" Zee rekahkan senyumnya semakin lebar, menyentuh bahu itu dengan jemarinya yang besar, "Nih, ya, ibaratnya—"

"Kelas, hati kamu itu udah penuh diisi aku. Enggak ada bangku kosong lagi buat orang lain. Jadi, enggak usah takut aku bakal suka sama dia. Gitu 'kan, Bapak Pakubuan?"

Azizi mengangguk mantap. "Pintar. Itu kamu tahu sendiri"

"Tapi, yang jadi pertanyaannya, seberapa besar kata-kata kamu itu bisa dipegang? Seberapa lama juga kamu bisa yakin kalau enggak bakal jatuh cinta sama Brielle? Kalian satu tempat tinggal, satu kampus, tiap hari juga ketemu. Enggak ada yang menjamin, kan, kalau kalian enggak akan saling suka ke depannya?"

Azizi mengangguk. Memindahkan tangan Christy ke bahunya. "Iya. Emang enggak ada yang bisa aku jadikan jaminan buat itu. Tapi, kamu bisa pegang kata-kataku, Njel. Aku Cuma milik kamu-kamu juga Cuma milik aku. Enggak ada yang lain"

"Berlaku sampai suatu waktu nanti aku pergi lebih dulu dari kamu?"

Alis Azizi langsung berpagut. "Kok, gitu?"

"Aku Cuma nanya. Umur, jodoh, rezeki, siapa yang tahu?" Christy tersenyum detik berikutnya. Tangan itu sudah menjelajahi bahu Azizi hingga turun ke dadanya, "Aku Cuma nanya. Jangan dipikirin. Kamu tinggal jawab aja, Kak"

End Up With You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang